Prolog |
Summary: Menceritakan segelumit
cinta segibanyak antara BTS dan SNSD. Mereka saling dipertemukan satu sama
lain. Mengalami kisah yang berbeda-beda, cinta yang berantakan, benci akan
penghianatan, kecemburuan yang terpendam, rasa kesal yang mencuat, amarah dan
keinginan untuk saling memiliki satu sama lain akan mereka rasakan. "I
want to be your oppa." dan apakah jawaban yang akan sang wanita berikan,
"Yes or Not." ? Bad Summary. Please, Like & Comment. But Don't
Flame.
Author: Din-din Hasan
Genre: Romance, Harem,
Friendship, Love-Hate, Drama
Rating: PG-15
Length: Multichapter
Disclaimer: Big Hit Entertaiment
& SM Entertaiment
Cast: Kim Seok Jin, Suga/Min Yoon
Gi, Jung Ho Seok, Kim Nam Joon, Park Ji Min, Kim Tae Hyung/V, Jeon Jung Kook,
Kim Tae Yeon, Jung Soo Yeon/Jessica Jung, Lee Sun Kyu, Tiffany Hwang, Kim Hyo
Yeon, Kwon Yu Ri, Choi Soo Young, Im Yoon Ah, Seo Joo Hyun, and others
Chapter 1
.
.
.
Angin berembus perlahan
membuat rambut seorang wanita sedikit berayun-ayun. Awalnya ia ingin
melangkah pergi namun bunyi khas mesin mobil terdengar di telinganya,
membuat ia berbalik untuk sekedar melihatnya. Matanya sedikit
melebar─mungkin karena terkejut─sampai membuat kunyahan di mulutnya
terhenti.
"Tiffany?" gumamnya tak
percaya. Matanya mulai berkedip-kedip, ia membeku, masih syok dengan
kenyataan yang dilihatnya. Namun sedetik kemudian ia
menggeleng-gelengkan kepala agar membuatnya tersadar. Cepat-cepat ia
mengambil foto Tiffany sebelum ia menghilang di balik pintu. "Berhasil,"
seringaian terlihat di wajah cantiknya, "Yu Ri kau benar-benar
beruntung," ucapnya begitu senang. Ia sampai sedikit meloncat-loncat
kegirangan seperti anak kecil.
Seseorang laki-laki tiba-tiba terlihat, ia awalnya tengah berjalan santai dengan membawa segelas coffee
di tangannya namun langkahnya terhenti ketika melihat Yu Ri. Tatapannya
terus terarah kepada Yu Ri, wajahnya terlihat begitu keheranan tapi dia
tetap melanjutkan perjalananya tanpa menghiraukan wanita tersebut. Ada
wanita aneh, pikir orang tersebut. Sedangkan Yu Ri hanya bisa
senyam-senyum sendiri. Ia mulai lagi merendahkan topinya agar wajahnya
tak terlihat lalu ia berjalan pergi.
"Aku harus mendapatkan
lebih banyak foto mereka berdua," gumam Yu Ri, wajahnya terlihat sedang
berpikir. "Ah, aku tahu caranya," ia menjentikkan jarinya senang atas
ide yang telah otaknya dapatkan.
Saat ini Yu Ri berada di
parkiran, tempat mobil untuk berdiam diri sejenak sebelum tuannya
membawanya pergi lagi. Ia berjalan perlahan-lahan sembari melihat-lihat
sekelilingnya. Tanda pengenal yang tergantung di lehernya ia sembunyikan
di balik pakaiannya.
"Aku harus menunggu di
sini sampai ia terlihat, sial sekali diriku," gerutu Yuri, ide yang ia
dapat ternyata tidak sepraktis yang ia pikirkan.
Yu Ri duduk di lantai
yang sedikit kotor ini karena debu, tak ada pilihan lain baginya. Ia
memangku kepalanya menggunakan tangan kanannya sembari melihat
sekeliling takut-takut orang yang ia cari menampakkan batang hidungnya.
30 menit.
"Hoam, lama sekali," gerutunya geram. Matanya menatap malas sekitarnya.
1 jam.
"Ah,"─matanya yang mulai terpejam itu kembali melebar─"hah, dia lama sekali," gerutunya.
2 jam.
Tap ... Tap ... Tap ...
"Itu pasti dia," dengan
semangatnya Yuri mulai berdiri. Ia mengatur posisinya agar tak terlihat,
dengan kamera yang telah ia arahkan untuk memotret orang tersebut.
Namun desahan keluar dari mulut sang gadis karena yang terlihat dari
lensa kameranya bukan orang yang ia cari.
2 jam 30 menit.
"Aku benar-benar akan menyerah jika dalam 30 menit lagi dia tak terlihat juga," amuknya tak sabaran.
3 jam.
"Aku pergi sekarang," Yu
Ri bangun dari duduknya lalu mulai melangkah untuk pergi dari tempat
ini. Tapi, tiba-tiba seorang lelaki terlihat mendekat, membuatnya
bersembunyi di balik mobil seseorang agar tak terlihat. "Mau apa dia?"
tanya Yu Ri pada dirinya sendiri. Lelaki tersebut benar-benar terlihat
mencurigakan di matanya. Rambutnya tertutup topi dan wajahnya tertutup
masker. Yu Ri terus memperhatikan gerak-gerik orang tersebut yang
semakin aneh. Kepalanya selalu menoleh ke kanan dan ke kiri, entah apa
yang ia khawatirkan dan sekarang ia berdiri di dekat salah satu mobil
mewah-Mercedes Benz E-Class silver-dengan sikap yang tetap sama.
"Jangan-jangan dia pencuri,"-gumam Yu Ri terkejut, mulutnya sampai ia
bekap menggunakan kedua tangannya-"aku harus melakukan sesuatu."
Duagh ... Duagh ... Duagh ...
Terdengar suara sesuatu yang dipukul begitu keras.
"Aw ... aw ... Apa yang
kau lakukan wanita gila," teriak lelaki itu kesakitan. Ia benar-benar
tak habis pikir dengan wanita tersebut. Apa salahnya?
"Rasakan-rasakan, kau
ingin mencuri mobil inikan?" tuduh Yu Ri, ia terus saja memukuli lelaki
mencurigakan itu menggunakan sebelah sepatunya yang ia lepas.
"Aku buk-"
"Itu Suga," teriak
seseorang, membuat semua orang yang berada di dekatnya menoleh ke arah
pandangnya. Padahal ruangan ini merupakan tempat parkir yang biasanya
terlihat sepi tapi kenapa begitu banyak orang.
"Heh? Suga," ucap Yu Ri begitu terkejut.
"Hah, sekarang itu tak
penting. Kau ikut denganku," Suga menarik pergelangan tangan Yu Ri,
memaksanya untuk masuk kedalam mobilnya agar ia bisa cepat-cepat
meninggalkan tempat ini.
Brrruuuum ...
Mobil melaju cepat, meninggalkan para paparazi yang mengejar-ngejar dirinya.
"Hei, kau ingin
membawaku kemana?" Yu Ri mulai lagi memukul tubuh Suga menggunakan
sepatu yang masih dipegangannya agar dia menghentikan laju mobilnya.
"Hah, diam. Kau berisik
sekali," amuk Suga, ia melepas topi dan juga maskernya dengan kasar.
Wajah Suga akhirnya terlihat sepenuhnya, menunjukkan ekspresinya yang
begitu menyeramkan.
Yu Ri diam sejenak lalu
ia menelah ludahnya dengan susah payah karena tenggorokannya seketika
mengering. Kaget, kata itu yang pas untuk menunjukkan ekspresi Yu Ri
saat ini. Ia mulai duduk dengan benar, menghadap ke depan setelah itu ia
memakai sabuk pengaman. Ia diam seribu bahasa.
"Gara-gara dirimu
penyamaranku terbongkar. Kau tak punya otak sampai menuduhku seorang
pencuri? Kau taruh dimana matamu itu? Padahal aku telah merencanakan hal
tersebut matang-matang, dan dalam hitungan detik langsung hancur cuma
gara-gara dirimu," ucap Suga marah tapi nada bicaranya tetap rendah dan
masih terkontrol. Sebenarnya hati Yu Ri sangat gondok ketika mendengar
ucapan Suga. Tapi ia tahan rasa ingin memberontaknya itu dalam-dalam dan
hanya bisa pasrah menerima semprotan penyegar hati dari Suga. Karena Yu
Ri tahu, ia juga bersalah dalam hal ini. "Kau tak punya kaus kaki
lagi?" tanya Suga dengan nada menyindir. Tak sengaja matanya melihat hal
tersebut.
"Jika aku bilang iya,
kenapa?" tanggap Yu Ri dengan nada angkuh, ia mulai memakai lagi
sepatunya. Ekspresinya seketika berubah menjadi kesal. Lama-kelamaan
lelaki itu menyebalkan juga, membuat hati seorang wanita terluka.
Memangnya kenapa jika kaus kaki yang kupakai bolong? Ini bukan
urusannya, geram Yu Ri dalam hati. "Kau ingin membelikannya untukku?"
cibir Yu Ri tak suka. Dia berniat untuk membalas sindiran Suga.
"Tidak. GR sekali dirimu," kata Suga diakhiri dengusan.
"Kalau begitu, biarkan
aku bekerja," senyum di wajah Yu Ri mengembang. Ia lupa bahwa dirinya
sedang bersama Suga, orang yang sedari tadi ia tunggu, aktor yang harus
ia buntuti untuk bisa mendapatkan berita bagus tentangnya.
Cekrek ... cekrek ... cekrek ...
Yu Ri memotret wajah Suga dari segala arah yang menurutnya bagus.
"Hey, apa yang kau
lakukan?" tanya Suga geram. Ia benar-benar tak menyukai para paparazi
itu. Seenak jidat mereka mengambil fotonya untuk dijadikan bahan gosip
tak bermutu. Suga mencoba menghalangi kamera Yu Ri menggunakan tangan
kanannya agar Yu Ri tak bisa mengambil fotonya.
"Aku fans-mu,"
ucap Yu Ri berbohong. Mana mungkin Suga tahu bahwa dia salah satu dari
paparazi itu, toh orang yang membawa kamera tak semuanya disebut
paparazi.
"Fans kau bilang?" Suga malah mengajukan pertanyaan dengan nada mengejeknya, seakan merasa lucu dengan perkataan Yu Ri.
"I-iya, benar sekali," entah kenapa perkataan Yu Ri sedikit terbata.
"Keluar sekarang," Suga menghentikan laju mobilnya. Mood-nya
benar-benar buruk hari ini, malah ditambah gangguan wanita gila yang
entah siapa. Ketika mengatakannya ia berteriak keras, tak mampu menahan
amarahnya lagi.
"Aku akan keluar, kau
tak perlu marah-marah seperti itu kepadaku," amuk Yu Ri. Ia membuka
sabuk pengaman di tubuhnya dengan terburu-buru lalu keluar dari mobil
dan menutupnya sedikit keras. Yu Ri melihat mobil mewah itu melaju
kembali. "Dasar, sombong sekali dia. Awas saja dia. Suga, kau akan tahu
akibatnya nanti," tatapan tajam terus mengarah kepada mobil Suga sampai
mobil itu hilang dipenglihatannya. Yu Ri berbalik, lalu melangkah pergi
namun tiba-tiba ia berhenti. "Tidak, kenapa dia membawaku sejauh ini?"
.
.
.
"Jung Kook, kau sedang
melakukan apa?" tanya seorang pemuda berseragam sekolah kepada teman di
sampingnya. Tempat duduknya berada di deretan kedua dari pintu baris
terakhir sedangkan tempat duduk Jung Kook-teman yang ia panggil-berada
di pojokan.
"Kau tidak melihat aku
sedang melakukan apa?" bukannya menjawab, Jung Kook malah balik
bertanya. Dia tak menoleh sedikitpun dan terus berkonsentrasi dengan apa
yang ia lakukan. Wajahnya terlihat begitu serius sampai terdapat
kerutan di dahinya.
"Kau sedang menulis
catatan, tumben sekali," heran temannya. Dia tak terlihat kesal ataupun
marah, wajahnya malah terlihat bingung dengan tingkah laku Jung Kook
yang di luar kebiasaan.
"Bukan," jawab Jung Kook cepat, ia terlalu malas untuk menanggapi ucapan temannya.
"Lalu?" kerutan juga terlihat di keningnya.
"Aku sedang menulis surat cinta," ucap Jung Kook sembari menoleh ke arah temannya lalu tersenyum.
"Heh?" terkejutnya, "kau tak ingin memperhatikan Tae Yeon Noona?
dia terlihat begitu cantik saat ini, kau akan menyesal nantinya," teman
Jung Kook berbicara sembari memandangi guru yang ia bilang cantik
tersebut. Kepalanya ia topang menggunakan salah satu tangannya. Dia
terlihat tersenyum lebar.
"Tae Yeon Noona? Kau menyebut Seonsaengnim seperti itu?" Jung Kook berkata sembari berteriak, antara terkejut dan tak terima.
"Jeon Jung Kook, kau
bisa diam," tegur sang guru yang bernama Kim Tae Yeon. Guru muda yang
memiliki paras menawan dengan suaranya yang indah bak kicauan burung.
Umurnya yang masih di kisaran angka 20+ itu membuat murid-murid
lelakinya tak segan terang-terangan mendekatinya. Berbagai modus mereka
lakukan. Ia baru beberapa bulan bekerja di sini.
"Maafkan aku," ucap Jung
Kook sembari berdiri lalu membungkuk hormat. Ia kemudian duduk kembali,
kedua matanya menatap tajam temannya itu. Ini semua gara-gara kau, ucap
inner Jung Kook marah.
"Le-lebih ba-baik ka-kau
teruskan sa-saja menulisnya," ucapnya tergagap, takut dengan tatapan
Jung Kook yang mematikan. Karena Jung Kook lebih sering tersenyum konyol
daripada memperlihatkan ekspresi menyeramkannya itu. Jadi bisa dibilang
bahwa ia sedang terkejut.
"Ah, iya juga," Jung Kook kembali meneruskan aktivitasnya tadi dengan wajahnya yang kembali terlihat ceria.
"Selamat," gumamnya pelan, ia menghela napas sangat panjang.
Tet... Tet... Tet...
"Saya akhiri sampai di
sini, jangan lupa untuk membaca catatan kalian di rumah," Tae Yeon
melangkah pergi meninggalkan kelas tersebut. Seruan terdengar dari para
siswa yang terlihat kecewa karena jam pelajaran Tae Yeon berakhir
sedangkan para siswi malah bersorak gembira.
"Kau ingin kemana? Tak ingin pulang?"
"Aku?" tunjuk Jung Kook pada dirinya sendiri, "ingin menemui Seonsaengnim," jawabnya setelah mendapat anggukan dari temannya. Jung Kook kemudian melangkah pergi dengan amplop pink yang berada digenggamannya, wajahnya terlihat begitu bahagia sampai ada kerlip bintang dimana-mana.
Keadaan di sekolah ini
telah terlihat sepi, tak ada lagi murid-murid yang berlalu lalang di
koridor sekolah. Semua kelas juga sudah tertutup rapat tanpa adanya
penghuni yang masih tertinggal. Langit juga sudah tak berwarna sebiru
biasanya.
"Seonsaengnim,
kau akan pulang sendirian?" tanya seorang murid kepada gurunya. Ia
sedari tadi berdiri di balik pagar sekolah, menunggu sang guru keluar.
Seseorang yang merasa dipanggil menoleh lalu ia tersenyum sekilas.
"Jeon Jung Kook kenapa
kau masih berada di sini? Menunggu jemputan?" guru yang berjenis kelamin
perempuan itu menghampiri muridnya yang bernama Jung Kook, berdiri di
hadapannya.
"Kalau aku bilang iya, Seonsaengnim
ingin menunggu di sini bersamaku?" mata lebar Jung Kook menatap gurunya
dengan penuh harap. Sang guru yang ditatap seperti itu menghela napas,
lalu tersenyum.
"Baiklah," ia menyetujui
ajakan Jung Kook lalu memposisikan dirinya berdiri di samping Jung
Kook. Senyum mengembang di wajah tampan Jung Kook, ia terlihat begitu
senang. Padahal sebenarnya ia tak dijemput oleh siapa-siapa dan hanya
ingin menunggu gurunya pulang.
"Bolehkah aku memanggil Seonsaengnim dengan sebutan Tae Yeon Noona?" tanya Jung Kook begitu polosnya, membuat gurunya hanya bisa tertawa geli.
"Bukannya Seonsaengnim
tak memperbolehkannya tetapi kita memiliki batasan tertentu, hanya
sebagai seorang guru dan muridnya, tak lebih." jelas Tae Yeon sembari
memperlihatkan senyum di wajahnya, entah sudah berapa kali ia tersenyum
kepada muridnya ini.
"Jika aku sudah lulus sekolah, Seonsaengnim
akan menerimaku?" sedari tadi wajah Jung Kook begitu polos, entah dia
mengerti atau tidak maksud Tae Yeon sebenarnya. Dia memasukkan tangan
kanannya kedalam saku celana, berniat untuk mengambil sesuatu yang ada
di dalam.
"Tapi Seonsaengnim
ingin menikah dengan lelaki yang telah memiliki pekerjaan dan segera
membina rumah tangga bersama," Tae Yeon menjelaskan hal tersebut dengan
perlahan agar Jung Kook bisa mengerti tanpa perlu melukai hatinya. Tae
Yeon telah terbiasa menghadapi tingkah laku murid-muridnya yang begitu
ngotot untuk bisa berkencan dengannya. Bahkah setiap hari ia dikerumuni
murid-murid lelakinya itu.
Jung Kook terlihat berpikir sebentar, ia mengurungkan niatnya untuk mengambil sesuatu yang ada di saku celananya.
"Setelah lulus SMA aku sudah bisa bekerja. Jadi Seonsaengnim
tak usah khawatir. Tunggu aku sebentar lagi," Tae Yeon hanya bisa
tersenyum melihat tingkah muridnya itu yang begitu kukuh untuk
menjadikannya istri. Padahal temannya yang lain hanya sekedar mengagumi
dia saja, tak lebih.
"Ta-" ucapan Tae Yeon
terhenti ketika melihat Jung Kook malah meninggalkannya. Ia terus
memperhatikan Jung Kook yang melangkah pergi, ia berjalan mundur,
tangannya melambai-lambai ke arah Tae Yeon, dan senyumannya terus
mengembang tanpa henti. Apa yang ada dipikirannya saat ini?
Setelah Jung Kook
benar-benar pergi, Tae Yeon berbalik dan melangkah untuk pulang ke
rumahnya. Namun langkahnya malah berhenti seketika, ia mendengus geli.
"Dia tak dijemput?" gumam Tae Yeon.
.
.
.
Terlihat para polisi
sedang berbaris rapi dengan pakaian khas mereka yang berwarna hijau
lumut. Di sana sedang ada upacara penyambutan polisi baru atau bisa
dibilang mereka adalah seorang detektif. Nantinya mereka akan bekerja
mencari orang hilang ataupun menangkap tersangka, tergantung dengan
pilihan mereka masing-masing. Setelah mendengarkan pidato yang sedikit
membosankan, mereka akhirnya dibubarkan.
"Ini tempat dudukku,"
gumam seorang wanita ketika berhasil menemukan tempat duduknya, lalu ia
mendudukinya. Itu terlihat dari papan nama yang ada di sana bertuliskan
namanya, Jung Soo Yeon. Lalu dia membaca papan nama di sebelah kanan dan
kirinya, ingin mengecek sesuatu, "Lee Wo Young dan Kim Tae Hyung,"
gumamnya pelan, "syukurlah aku tidak bersebelahan dengan orang aneh
itu," senyum simpul terlihat di wajahnya.
"Wah, aku berhasil
menemukanmu," teriak seseorang pria kegirangan. Setelah itu ia malah
meloncat-loncat bak monyet yang menemukan pisang. Membuat Soo Yeon
menoleh, melihat siapa orang aneh tersebut. Sebenarnya berapa banyak
orang aneh yang akan bekerja di sini?, pikir Soo Yeon kesal. Ia
benar-benar tak ingin terlibat lebih jauh dengan mereka, pasti sangat
merepotkan.
"V," panggil Soo Yeon
sedikit terkejut. Orang yang merasa disebut namanya menoleh, menunda
aktivitas monyetnya sementara waktu. "kenapa kau di sini? Bukankah ini
tempat Kim Tae Hyung?" tanyanya ragu.
"Hahaha, akulah Kim Tae
Hyung, lalu bagaimana denganmu? Di situ tertulis Ju-ung So-o Ye-on," V
mengeja papan nama yang berada di meja Soo Yeon, matanya menyipit, dan
keningnya berkerut. Itu dilakukan karena dia kesulitan melihatnya, "yup,
benar Jung Soo Yeon," ia menepuk tangannya, hal itu sedikit membuat Soo
Yeon terkejut.
"Jadi namamu Kim Tae
Hyung, lalu bagaimana dengan V?" tanya Soo Yeon lagi. Ia masih belum
bisa menerima kenyataan ini. Mungkin saja V melakukan sebuah kesalahan.
Seketika V menolehkan
kepalanya ke kanan lalu ke kiri setelah itu tiba-tiba ia mendekat ke
arah Soo Yeon, membuat jarak di antara mereka terlampau pendek sampai
keduanya bisa merasakan deru napas masing-masing. Mata Soo Yeon membulat
sempurna memperhatikan tatapan V yang begitu tajam. Tapi itu tak
bertahan lama karena...,
Plaaak...
Soo Yeon memukul kepala V keras.
Soo Yeon memukul kepala V keras.
"Aw, sakit," ringis V
sembari mengelus kepalanya. Ia sedikit memundurkan tubuhnya, memberi
jarak di antara mereka lagi. "padahal aku hanya ingin membisikkan
sesuatu agar semua orang yang ada di sini tak bisa mendengarnya. Karena
ini adalah sebuah rahasia pribadiku," ungkap V dengan wajah cemberutnya
dan itu terlihat sangat menggemaskan. Namun itu tidak berpengaruh bagi
Soo Yeon, ia tetap saja berwajah galak, masih tak terima dengan
perlakuan V padanya.
"Ceritakan saja dari
situ, tak usah dekat-dekat," Soo Yeon berkata sembari mendelik tajam ke
arah V. Kedua tangannya ia lipat dan diletakkan di depan dada, menambah
seram wajah sang wanita.
"Itu karena aku sekarang
seorang detektif dan aku tak ingin orang lain mengetahui identitas
asliku," kata V yang bisa dibilang berteriak, membuat semua orang yang
berada di gedung ini menatapnya heran.
"Dasar bodoh," dengus Soo Yeon, ia menolehkan wajahnya ke arah kiri.
"Jadi itu alasannya,
jangan beritahu siapa-siapa. Janji?," V kemudian duduk di kursinya lalu
memutarnya untuk bisa menghadap Soo Yeon. Ia bahkan tak sadar bahwa
semua orang yang berada di sini telah mendengar perkataannya, " lalu
bagaimana dengan dirimu, Jessica?"
"Aku lebih menyukai nama
itu daripada nama koreaku," Soo Yeon/Jessica menjawab pertanyaan V
walau sebenarnya dalam hati dia menolak untuk berurusan lebih jauh lagi
dengan orang bodoh ini.
"Nama korea? Memangnya-"
"Aku dilahirkan di San Fransisco, California, Amerika Serikat," jelas Jessica memotong ucapan V.
"Wow, ka-kau-"
"Kalian berempat ikut aku." lagi-lagi ucapan V terpotong karena seorang pria tiba-tiba datang.
"Baik Pak," ucap mereka serempak dan tegas dengan posisi yang telah berdiri tegap tak terkecuali V.
Saat ini terdapat lima
orang yang berada di satu ruangan, ruangan grup mereka. Di tempat ini
nantinya alat-alat mereka diletakkan, seperti pistol, pelindung badan
dan lainnya. Satu dari mereka merupakan senior yang akan membingbing
mereka selama menjadi seorang junior.
Sedari tadi satu-satunya
wanita yang ada di sini menatap tajam ke arah salah satu pria, ia
merutuk dalam hati. Ternyata doanya tak dikabulkan oleh Tuhan, nyatanya
ia akan satu grup dengan pria aneh tadi. Tapi semoga saja dia tak
berpatner dengannya. Mana mungkin itu juga terjadi, pikirnya positif.
"Selamat untuk kelulusan
kalian," senior itu tersenyum, "bekerjalah dengan baik, aku tak ingin
terlibat masalah konyol karena ulah kalian, mengerti?" senyumannya
memudar, digantikan oleh tatapan tajam bak seorang pembunuh berdarah
dingin. "Namaku Kwan Jae Suk, kalian bisa memanggilku Sir."
"Baik Sir."
"Perkenalkan diri kalian
masing-masing, mulai dari kau wajah imut," tunjuk Jae Suk kepada V. V
hanya tersenyum atas pujian yang ia terima tapi nyatanya senior itu
sedang menyindirnya.
"Nama saya Kim Tae
Hyung, tapi tolong panggil saya V. Jika kalian bertanya alasannya, saya
tidak akan memberitahukannya,"-Jessica memutar bola matanya bosan ketika
mendengarkan ucapan V itu. Pasalnya V telah mengatakan alasannya dan
itu didengar semua orang yang berada di gedung ini, entah mereka peduli
atau tidak-"Saya berasal dari Daegu, umur saya saat ini 19 tahun dengan
tanggal lahir 30 Desember 1995. Jika kalian ingin memberikan hadiah
ulang-"
"Cukup," potong Jae Suk, "kau sangat cerewet sekali, cukup beritahu namamu, asalmu, dan juga umur."
"Tapi Sir tidak mengatakan-"
"Tak ada bantahan," Jae
Suk berteriak sedikit keras dengan ekspresi wajahnya yang ia buat
menakutkan. Membuat V diam seribu bahasa, kali ini ia menundukkan
kepalanya rendah.
"Kau," tunjuknya pada Jessica.
"Namaku Jessica Jung, umur 26 tahun," kata Jessica yang terlampau singkat, itu karena mood-nya benar-benar buruk hari ini.
"Jarang sekali seorang
wanita melamar pekerjaan ini, semoga kau tak akan menjadi hambatan untuk
kami," ucap Jae Suk dengan ekspresi meremehkan yang ia tunjukkan kepada
Jessica.
"...," Jessica tak
menanggapi ucapa Jae Suk, namun seketika ia merasakan tepukan di
pundaknya. Reflek Jessica menolehkan kepalanya.
"Tenang saja, aku akan
melindungimu," ucap V begitu bersungguh-sungguh, ekspresinya kali ini
terlihat lebih serius. Jessica mulai menghela napas panjang, tak begitu
yakin dengan ucapan V. Entah kenapa ia memiliki firasat bahwa orang ini
yang akan sangat merepotkannya nanti.
"V akan berpasangan
dengan Jessica, kalian akan menjadi patner," ketika mendengarnya Jessica
langsung menatap Jae Suk, matanya membulat sempurna. Oh tidak,
teriaknya dalam hati.
"Yey, kita akan menjadi
patner. Kau pasti senang," V tertawa bahagia, ia sampai menari-nari tak
jelas. Untung saja Jae Suk sudah keluar dari ruangan ini jika tidak dia
akan memarahi V lagi karena kelakuannya itu. "Patner Jessica, ah tidak,
Patner Sica, ah tidak, kau lebih tua dariku jadi Patner Noona...,"
kepala Jessica berkedut menahan amarah, "... bagaimana jika kupanggil
Patner saja," ucap V senang, ia terlihat begitu bahagia. Benar-benar
hari pertama masuk kerja yang menyenangkan, baginya.
"Terserah kau saja,"
tukas Jessica, kali ini ia sedikit memijit-mijit kepalanya yang terasa
pusing seketika. Jika tahu begini ia tidak akan membantah keinginan
orang tuanya. Masa-masa indah di hidupnya telah berakhir.
.
.
.
Beberapa orang yang awalnya merasa terusik mulai lagi memakan-makanannya dengan nyaman sedangkan seorang waiter
mulai membersihkan lantai yang berserakan beling di atasnya. Setelah
dirasa bersih, ia kembali ke tempatnya, duduk nyaman di atas kursi
sambil menunggu seseorang memesan atau pesanan selesai dibuat untuknya
antar. Ia terlihat menghela napas panjang, mengatur detak jantungnya
yang berdebar keras. Tangannya tak lagi bergetar namun wajahnya terlihat
sedikit pucat.
"Sun Kyu, kau baik-baik saja?" tanya seorang pria yang mendekat ke arahnya. Ia terlihat khawatir.
"Baik Chef," jawab Sun Kyu cepat. Ia berusaha untuk tersenyum ceria walau terlihat sekali sangat dipaksakan.
"Benarkah?" chef muda
tersebut tersenyum, ia tak bisa dibodohi seperti itu, jelas-jelas wajah
Sun Kyu terlihat tidak baik-baik saja. Ia mengambil kursi yang berada di
situ untuk ditariknya mendekat agar ia bisa duduk di depan Sun Kyu.
"Chef, kenapa kau begitu
baik padaku? Aku hanya seorang pelayan di sini, seharusnya kau tak usah
mengkhawatirkanku," mata Sun Kyu mulai berkaca-kaca, ia mencintai
lelaki di depannya namun cinta itu pastinya bertepuk sebelah tangan.
Jadi ia tak ingin diperhatikan seperti ini, senang dan sakit bercampur
menjadi satu di dalam hatinya.
"Kau juga elemen penting
yang harus ada di restoran ini. Jika tidak ada kau, sama saja semuanya
palsu," ketika mendengarnya Sun Kyu tersenyum kecut, ia menatap tulisan
di baju hitam chef tersebut yang bertuliskan Kim Seok Jin. Kapan kau bisa melihat ke arahku? Hanya aku?, ucap inner Sun Kyu.
"Ah iya, maafkan aku
karena sudah membuatmu khawatir Chef," padahal Sun Kyu sudah paham jika
nantinya mencintai Seok Jin akan membuat dirinya terluka. Awalnya dia
tak menghiraukan hal tersebut sedikitpun, sungguh, melihatnya saja sudah
merupakan anugrah terindah untuknya. Tapi semakin lama dia semakin
menjadi egois, ia menginginkan pria itu menjadi miliknya. Apakah itu
salah?
"Jika kau merasa tak
enak badan seharusnya kau izin saja kepadaku, aku tak akan memarahimu,"
tukas Seok Jin sembari tersenyum. Ia lalu mengelus-elus kepala Sun Kyu
gemas sedangkan yang dielus malah menunjukkan ekspresi kesalnya.
"Sudah kubilang aku
bukan anak kecil," Sun Kyu mengembungkan pipinya. Hal tersebut malah
membuat Seok Jin tertawa. "Hey... Hey... Chef menertawakanku," ekspresi
Sun Kyu tak berubah.
"Hehehe, mian."
"Kim Seok Jin,"
panggilan itu membuat mereka berdua menoleh. Terlihat di sana berdiri
seorang wanita yang memiliki surai panjang berwarna kecoklatan. Ia
memakai kacamata hitam dan masker, membuat wajahnya tak terlihat.
"Tif-" Seok Jin memotong
ucapannya sendiri, lalu ia berdiri dan melangkah mendekati sang wanita
yang memanggilnya. "Kita jangan bicara di sini, ayo," ucap Seok Jin
sembari menarik pergelangan tangan wanita tersebut sedangkan Sun Kyu
hanya bisa melihat mereka berdua pergi meninggalkannya. Sun Kyu terus
memperhatikan punggung tegap Seok Jin yang semakin menjauh dan di
sebelahnya ada punggung wanita lain yang bersamanya. Sedangkan dia hanya
bisa diam tanpa bergeming sedikipun. Sungguh ia tahu, selama ada wanita
itu Seok Jin tak akan pernah berpaling kepadanya. Hanya wanita itu yang
ada di dalam hati dan pikiran Seok Jin. Saat berpikir tentang kenyataan
tersebut dada Sun Kyu benar-benar terasa sakit.
Saat ini, Seok Jin dan
wanita tersebut telah berada di atap. Di atas sana masih ada ruangan
yang telah di sulap Seok Jin menjadi tempat kerja dan tempat istirahat,
mungkin.
"Aaa... Kau tak ingin kita bicara di depannya, memangnya kenapa? Ketika aku tak ada, kau bermesraan dengannya? Hah? Waiter-mu sendiri?" wanita itu terlihat sangat marah. Sesampainya di tempat tersebut ia langsung menghempaskan tangan Seok Jin kasar.
"Bukan seperti itu
Tiffany. Kau tak inginkan, hubungan kita diketahui awak media. Lagi pula
kami hanya sebatas teman saja, jangan salahkan dia," kata Seok Jin
pelan, tak ingin membuat wanitanya semakin marah.
"Iya aku tahu, itu
mauku. Ta-tapi kau tak bisa bermesraan bersama orang lain ketika aku
tidak ada. Aku tahu bahwa aku tak pernah bisa mengerti, selalu menuntut
ini dan itu darimu ta-tapi-" Tiffany benar-benar marah, kepada dirinya
dan juga semuanya. Terkadang dia merasa sangat tertekan dan tak tahu
bagaimana cara mengatasinya.
"Itu tidak benar, aku yang sala-"
"Kau selalu seperti itu,
menganggap dirimulah yang salah. Padahal semua ini adalah kesalahanku,"
Tiffany memotong ucapan Seok Jin. Ia benar-benar tak bisa mengontrol
emosinya saat ini. Dia paling tidak suka jika miliknya disentuh orang,
dia hanya ingin Seok Jin melihat dirinya dan tidak untuk orang lain.
Apakah itu salah?
"Kenapa kita selalu
bertengkar akhir-akhir ini? Kumohon Tiffany, tenanglah. Aku ingin
melihat wajahmu sebentar saja sebelum kau pergi lagi," mata Seok Jin
terlihat berkaca-kaca, ekspresinya benar-benar kalut, ia tak ingin
wanitanya pergi lagi.
"Maafkan aku, tapi
sepertinya aku harus pergi lagi," Tiffany menundukkan kepalanya, entah
bagaimana ekspresinya saat ini karena wajahnya yang tertutup masker dan
kacamata. Tiffany lalu melangkah pergi namun langkahnya terhenti karena
Seok Jin memegang pergelangan tangannya. Tubuh Tiffany membeku, ia tak
berusaha menoleh sedikitpun.
Greb...
Seok Jin memeluk punggung Tiffany, ia begitu rindu dengannya. Akhir-akhir ini, ketika mereka bertemu selalu saja mereka habiskan waktu dengan bertengkar dan tak beberapa lama Tiffany pergi. Hey, dia juga mempunyai batasan. Hatinya juga selalu perih ketika memikirkan Tiffany bersama lelaki lain. Berbicara dengannya, berpelukan dengannya, berpegangan dengannya, dan tertawa dengannya walau semua itu karena urusan pekerjaan.
Seok Jin memeluk punggung Tiffany, ia begitu rindu dengannya. Akhir-akhir ini, ketika mereka bertemu selalu saja mereka habiskan waktu dengan bertengkar dan tak beberapa lama Tiffany pergi. Hey, dia juga mempunyai batasan. Hatinya juga selalu perih ketika memikirkan Tiffany bersama lelaki lain. Berbicara dengannya, berpelukan dengannya, berpegangan dengannya, dan tertawa dengannya walau semua itu karena urusan pekerjaan.
"Lepaskan, aku tak punya
banyak waktu lagi," ucap Tiffany. Namun ia tak berusaha untuk melepas
tangan Seok Jin yang melingkar di badannya.
"Sebentar lagi," ingin
rasanya Seok Jin menangis di hadapan Tiffany agar dia tahu betapa
sakitnya hati Seok Jin. Menangis agar Tiffany tak bisa meninggalkannya,
terkadang seorang lelaki juga butuh menangis, memperlihatkan sisi lemah
mereka. Seok Jin menarik napas, ia mempersiapkan dirinya untuk
mengakhiri pelukan ini. Berat, sangat berat rasanya, sungguh ia tak
ingin melakukannya.
Seok Jin melihat
punggung Tiffany yang semakin jauh darinya dan hilang di balik pintu.
Dirinya hanya bisa diam tak ingin melangkah kemana-mana.
"Jangan pergi," gumamnya pelan.
.
.
.
Terlihat sebuah gedung
yang dicat serba putih, di luar ataupun di dalamnya. Bau khas
obat-obatan mulai tercium ketika kau menginjakkan kakimu ke dalam. Di
sana-sini terlihat orang-orang yang memakai baju sama ataupun tidak. Ada
juga perawat dan juga dokter yang siap melayani keluhan yang dirasa
tubuhmu. Salah satunya, dokter Park Ji Min bersama perawat Seo Joo Hyun
yang selesai mengecek keadaan pasiennya.
"Joo Hyun-ah~" Ji
Min mulai berbalik menatap Joo Hyun, ia tersenyum sekilas memperlihatkan
pesonanya, berharap Joo Hyun akan terpikat juga. Sedari tadi para
gadis-gadis yang ia cek selalu memuji pesonanya tersebut, mereka sampai
berteriak-teriak.
"Iya Dokter Ji Min?" tanya Joo Hyun. Ekspresinya tak berubah, seperti biasanya.
"Kau baik-baik saja
kan?" Ji Min berbicara sembari terus tersenyum. Ia masih berusaha
membuat Joo Hyun terpikat ke dalam pesonanya yang selalu ia banggakan.
Tatapan matanya yang manja ditambah senyum mematikan dari bibir
seksinya.
"Kau sedang sariawan?"
tanya Joo Hyun begitu polos. Dia tidak mengerti akan keadaan yang ingin
diciptakan Ji Min, "atau kau sedang sakit perut?"
"Hah...," Ji Min
menghela napas panjang, ia gagal lagi, "tidak," jawab Ji Min lemas, ia
kehilangan semangatnya yang tadi. Kenapa usahanya yang selalu memberi
kode kepada Joo Hyun selalu gagal bahkan sampai tak ada tanggapan.
Sungguh malang nasibnya.
"Kalau begitu aku pergi
dulu," Joo Hyun melangkah pergi meninggalkan Ji Min yang masih di
tempatnya. Wajahnya terlihat murung. Namun langkah Joo Hyun tiba-tiba
terhenti membuat Ji Min menegapkan tubuhnya dan menyisir rambutnya ke
belakang. Ia sudah siap, "Dokter-"
"Iya," Ji Min langsung
menanggapi ucapan Joo Hyun. Arah pandangnya ke kanan dan ke kiri, tak
fokus, ia benar-benar gugup kali ini.
"Kau terlihat aneh
sedari tadi. Benar kau baik-baik saja?" setelah mendengar ucapa Joo
Hyun, Ji Min langsung membeku menjadi es batu. Tidaaak, Joo Hyun
menganggapku aneh, teriak inner Ji Min. "Sepertinya kau butuh
istirahat, jangan terlalu memaksakan dirimu," Joo Hyun tersenyum membuat hati Ji Min langsung menghangat menjadi musim semi. Kupu-kupu mulai
terlihat keluar dari perutnya. Dia mengkhawatirkanku, ucap inner Ji Min tak percaya.
"Joo Hyu-" perkataan Ji
Min terhenti ketika tak melihat Joo Hyun di hadapannya lagi. Tidaaak,
aku menghilangkan kesempatan langka ini, sesal inner Ji Min. Ia sampai berlutut di lantai.
"Dokter, kau baik-baik saja?" tanya seorang pasien yang kebetulan lewat.
"Aku baik-baik saja,
terima kasih," saat Ji Min ingin memperlihatkan senyuman andalannya, ia
langsung berhenti, ingat dengan perkataan Joo Hyun.
"Tapi ekspresimu
terlihat sangat aneh?" tidak, bukan hanya Joo Hyun yang mengatakannya
aneh tapi semua orang, reputasinya telah hilang, "kau harus bangun, dan
segera ke ruanganmu untuk istirahat. Kau ingin aku mengantarkanmu?"
pasien yang umurnya sudah tua tersebut menuntun Ji Min untuk berdiri
lalu mengantarkannya.
"Sebenarnya siapa pasien di sini?" gumam Ji Min miris.
.
.
.
Semilir angin berembus,
menggoyang-goyangkan perlahan rambut seorang wanita. Ia tengah berdiri
di depan sebuah gedung atau bisa dibilang mall. Ia membuka
kacamata coklat yang menghalangi matanya lalu tersenyum sekilas.
Akhirnya ia melangkah mendekat ke arah gedung tersebut, berjalan bak
model di atas catwalk. Sesampainya ia di dalam, ia langsung
memasuki lift yang terdapat di sana dan memencet angka di lantai
teratas. Saat lift hampir saja tertutup, seorang wanita lain masuk.
Mereka hanya berdua, dan saling merasa tak nyaman dengan keadaan ini.
"Yoon Ah ssi, kau
di sini juga? Dari mana saja kau? Keluyuran?" ucap wanita pertama
dengan nada sinisnya, ia tak menoleh sedikitput kepada lawan bicaranya,
kedua tanggannya ia lipat dan ditaruh di depan dada.
"Ah, Soo Young ssi,
kau memang pintar. Selalu bisa menebak kemana perginya aku, seharusnya
kau bekerja menjadi peramal," sindir Yoon Ah. Lirikan matanya begitu
tajam menatap Soo Young. Jika mereka bertemu selalu saja Soo Young
menghinanya, inilah itulah, dia pikir Yoon Ah tak akan membalas
perkataannya, "kau sendiri ingin menemui Kim Sajangnim?"
"Tentu saja, memangnya
aku ingin menemuimu?" Soo Young mendengus, ia sangat tak menyukai wanita
di sampingnya ini. Dia musuh terberatnya untuk mendapatkan hati Nam
Joon walau mereka berdua sebenarnya memang dijodohkan. Soo Young masih
menunggu kapan mereka akan resmi bertunangan, "dan kau jangan kecentilan
mendekati Nam Joon-ku, bukankan sekretaris saat ini memang selalu
mengambil kesempatan ketika ada," Soo Young berucap dengan angkuhnya,
masih tak mau menatap lawan bicaranya.
"Heh," Yoon Ah malah
mendengus, ia tak habis pikir Nam Joon bisa dekat dengan orang seperti
Soo Young, kasihan sekali dia, "kau pikir aku menyukai Kim Sajangnim, tenang saja aku tak akan merebut apa yang ingin kau miliki."
Tring...
Mendengar suara itu Yoon Ah melangkah ke luar dari lift, berada di dalam sana hanya membuat kepalanya panas. Kenapa wanita itu selalu saja memulai perselisihan dengannya? Jika dia merasa terancam, seharusnya dia berusaha ekstra untuk mendapatkan hati Nam Joon bukan malah mengurusi orang lain. Menghabiskan waktu dan tenaga saja.
Mendengar suara itu Yoon Ah melangkah ke luar dari lift, berada di dalam sana hanya membuat kepalanya panas. Kenapa wanita itu selalu saja memulai perselisihan dengannya? Jika dia merasa terancam, seharusnya dia berusaha ekstra untuk mendapatkan hati Nam Joon bukan malah mengurusi orang lain. Menghabiskan waktu dan tenaga saja.
"Memang seharusnya
seperti itu," tanggap Soo Young, ia mulai berjalan ke luar dari lift.
Terus melangkah sampai ia berhenti di depan pintu, mengetoknya perlahan.
"Masuk," setelah mendengar seruan dari dalam, Soo Young langsung membuka pintu yang lumayan besar itu.
"Kau masih sangat
sibuk?" tanya Soo Young ketika melihat Nam Joon masih betah mengurusi
berkas-berkas yang ada di mejanya. Soo Young menutup pintu tersebut
sebelum melangkah lebih dekat lagi kepada Nam Joon.
"Ya," jawab Nam Joon seadanya, ia masih fokus dengan dokumen di depannya.
"Padahal sudah memasuki
jam makan siang," Soo Young duduk di kursi yang berada di depan meja Nam
Joon, ia menopang dagunya untuk bisa memperhatikan lekat-lekat wajah
tampan Nam Joon.
"Benarkah?" sekilas Nam Joon beralih menatap jam tangannya, "aku akan segera selesai."
"Tentu, aku akan
menunggumu," senyum simpul terlihat di wajah Soo Young, entah kenapa dia
begitu bahagia. Yah, wanita ini benar-benar mencintai Nam Joon, bukan
karena hartanya saja, "jangan sampai sakit," gumam Soo Young ketika
melihat Nam Joon yang begitu gila bekerja. Padahal saat ini waktunya
istirahat, tapi dia masih betah berkutat dengan semua kertas-kertas di
hadapannya yang entah apa.
"Kau mengatakan sesuatu?" tanya Nam Joon memastikan, ia tak mendengar dengan jelas perkataan Soo Young.
"Anio," Soo Young
menggeleng pelan. Ia begitu malu mengatakannya langsung kepada Nam
Joon, entah karena apa. Astaga, sejak kapan tingkahku menjadi seperti
ini, teriak inner Soo Young.
"Aku sudah selesai,
sekalian saja kita ajak Sekretaris Im untuk makan bersama. Dia juga
pasti sangat lelah," Nam Joon telah berdiri dan melangkah pergi
meninggalkan Soo Young yang masih betah duduk di sana.
"Siapa? Sekretaris Im?
Aku hanya ingin makan berdua denganmu," Soo Young terlihat begitu kesal,
ia bahkan sampai berteriak, dan kedua kakinya ia hentakkan di atas
lantai. Namun, setelah itu Soo Young berdiri dan melangkah mengejar Nam
Joon.
"Sekretaris Im, kau
ingin makan bersama dengan kami?" tanya Nam Joon, di sampingnya ada Soo
Young yang telah bergelayut manja di tangannya.
"Ah, aku sudah makan.
Terima kasih, kalian pergi saja berdua," tolak Yoon Ah, bukan karena ia
takut akan tatapan Soo Young yang membunuh ke arahnya. Tapi dia tidak
ingin dicap sebagai perebut gebetan orang. Lagi pula belum tentu Nam
Joon menyukainya, dia hanya terlampau baik ingin mengajak sekretarisnya
makan juga.
"Kalau begitu, kita berdua keluar sebentar," Nam Joon tak mencoba memaksa Yoon Ah.
"Baik, Kim Sajangnim,"-Yoon
Ah sedikit membungkukkan badannya sopan-"Dasar, gara-gara dia aku tak
jadi makan gratis," Yoon Ah mengelus-ngelus perutnya yang berbunyi,
bibirnya sedikit ia monyongkan.
.
.
.
Seorang lelaki tengah melangkah santai sembari perlahan meminum segelas coffee
yang berada digenggamannya. Walaupun tadi harinya sedikit terganggu
karena bertemu dua wanita angkuh dan satu wanita aneh, tapi hal itu tak
langsung bisa mematahkan semangatnya hari ini. Sampai...,
Duaghh...
Ah, coffee digenggamannya tumpah dan mengenai bajunya. Sial, siapa orang yang tak memiliki mata tersebut sampai-sampai menabrak dirinya.
"Ah, maafkan aku,"
seorang wanita yang memiliki surai pirang itu berkata dengan pelannya.
Wajahnya tak terlihat karena terhalang surainya, "kau baik-baik saja?"
tanyanya sembari mengeluarkan saputangan lalu mengelap baju orang yang
ditabraknya, dan itu sangat tergesa-gesa.
"Aw, aw, kau bisa pelan-pelan sedikit."
"Ah, sekali lagi maafkan
aku," wanita itu mengatakannya lagi, ia menyingkirkan surainya yang
menghalangi matanya sampai wajahnya terlihat sepenuhnya.
"Hyo Yeon ssi,"
ucap sang lelaki terkejut, "sedang apa kau berada di sini?" tanyanya
bingung. Baru saja ia meninggalkan cafe itu dan saat ini pelayannya
sudah ada di depannya.
"Ah," Hyo Yeon terlihat sedang berpikir, mengingat-ingat sesuatu.
"Jung Ho Seok," Ho Seok memperkenalkan dirinya.
"Ah, ya. Kau sendiri sedang apa di sini?" bukannya menjawab, Hyo Yeon malah memberi pertanyaan yang sama untuk Ho Seok.
"A-"
"Aku tidak perlu tahu.
Kau serahkan saja kemejamu itu," Hyo Yeon memotong ucapan Ho Seok,
membuat Ho Seok merasa sedikit kesal. Dirinya yang aneh atau wanita
ini?, tanya Ho Seok di dalam hati.
"Maksudmu membukanya di
tempat ini?" ucap Ho Seok terkejut. Pasalnya di sini tempat umum, lagi
pula dia tidak membawa baju ganti. Apakah dia harus telanjang dada
selama di perjalanan sampai rumahnya. Hahaha, itu sungguh lucu.
Bisa-bisa orang-orang mengiranya gila.
"Menyusahkan sekali, kau
ikut saja denganku," Ho Seok hanya bisa cengo mendengar ucapan Hyo
Yeon. Jelas-jelas ia yang menjadi korban dan seharusnya dia yang
mengatakan hal itu, bukan sebaliknya.
Mau tak mau Ho Seok
mengikuti Hyo Yeon. Ia masuk ke sebuah gedung, di dalamnya masih
terdapat tangga. Dan yang benar saja Ho Seok harus melangkah terus ke
atas. Ia juga tinggal dikompleks seperti ini namun tempatnya tinggal tak
sampai diujung-ujung, masih bisa kakinya untuk melangkah. Akhirnya,
mereka sampai juga, syukurlah. Hyo Yeon membuka pintu rumahnya
menggunakan kunci, tempat ini masih menggunakan cara manual.
"Masuk. Aku tinggal di
sini sendirian jadi kau jangan macam-macam," ancam Hyo Yeon, matanya
menatap mata Ho Seok tajam. Ia mempersilahkan Ho Seok masuk terlebih
dahulu, baru dirinya. Setelah melepas sepatunya Ho Seok menggunakan
sandal rumah yang sudah terdapat di sana diikuti Hyo Yeon. Ho Seok
sedikit melangkah lebih dalam sembari melihat sekeliling tempat ini.
Cukup rapi, pikir Ho Seok. "Cepat, lepas bajumu dan kenakan ini," Hyo
Yeon melempar pakaian kepada Ho Seok yang langsung ia tangkap, "mungkin
itu pas untukkmu."
Saat Ho Seok ingin
membuka kemejanya, ia seketika berhenti, "Hahahaha..." Ho Seok tertawa.
Seakan mengerti, Hyo Yeon memutar tubuhnya.
"Sudah selesai?" tanya Hyo Yeon sembari menghentakkan kakinya, bosan.
"I-iya," jawab Ho Seok, "ini," Ho Seok memberikan kemejanya yang penuh kopi kepada Hyo Yeon dan langsung diambilnya.
"Sekarang kau bisa
pergi, dua hari lagi kau bisa datang ke sini untuk mengambil kemejamu
ini dan mengembalikan bajuku," ucap Hyo Yeon, membuat Ho Seok sedikit
terpaku. Baru saja ia sampai sudah diusir. "Tunggu apalagi, cepat,"
dengan terpaksa Ho Seok melangkah pergi. Hari ini benar-benar hari yang
sial untuknya. Wajah Ho Seok tak seceria tadi, bibirnya tampak
melengkung ke bawah.
"Hah, kenapa tangga ini begitu banyak? Apa salahku?"
.
.
.
TBC
.
.
.
Wah, chap berikutnya sudah selesai. Semoga kalian bisa enjoy ketika membacanya. Jangan lupa tinggalkan jejak ya, biar author semakin semangat meneruskan fic ini dan terus lanjut sampai akhir. Like & Comment sangat diperlukan untuk menunjang kelangsungan fic ini. Ummah... :* makasih.
PEMBERITAHUAN!
Setiap chap-nya ada yang namanya PAIRING VOTE. Jadi para readers diperkenankan memilih pairing yang kalian suka.
1. Tiap orang boleh memilik pairing maks 7. Boleh beda-beda tiap chapnya samapun tak apa-apa, terserah readers. Tapi tidak boleh Yaoi ataupun Yuri.
2. Jika readers berkenan menambahkan alasan, itu tambah bagus, karena author bisa saja terpengaruh dan menyukai pairing itu juga XD. Poin (+) nya, mungkin author bisa memperbanyak scene tentang mereka walau tidak akan mengubah jalan cerita.
3. Para readers juga diharuskan memiliki mental yang kuat karena jika pairing-nya tidak canon kalian akan baik-baik saja dan tidak mem-bully atau me-flame author. Ini kesepakatan dari awal ya, :D .
4. Semua keputusan ada di tangan kalian tetapi author yang tetap menentukan.
5. Voting bisa langsung dibuka dari chap 1 sampai chap -1 tamat.
6. Pairing yang bisa Anda pilih {JinTae}{JinSica}{JinSunny}{JinHyo}{JinFany}{JinYuri}{JinSoo}{JinYoona}{JinSeoh}
{SugaTae}{SugaSica}{SugaSunny}{SugaHyo}{SugaFany}{SugaYuri}{SugaSoo}{SugaYoona}{SugaSeoh}{J-hopeTae}{J-hopeSica}{J-hopeSunny}{J-hopeHyo}{J-hopeFany}{J-hopeYuri}{J-hopeSoo}{J-hopeYoona}{J-hopeSeoh}{RapmonTae}{RapmonSica}{RapmonSunny}{RapmonHyo}{RapmonFany}{RapmonYuri}{RapmonSoo}{RapmonYoona}{RapmonSeoh}{MinTae}{MinSica}{MinSunny}{MinHyo}{MinFany}{MinYuri}{MinSoo}{MinYoona}{MinSeoh}{VTae}{VSica}{VSunny}{VHyo}{VFany}{VYuri}{VSoo}{VYoona}{VSeoh}{KookTae}{KookSica}{KookSunny}{KookHyo}{KookFany}{KookYuri}{KookSoo}{KookYoona}{KookSeoh}
7. Jadi tunggu apa lagi, langsung ke kolom komentar saja. Ditunggu.
THANKS FOR READING
EVERYONE. LIKE & COMMENT! LIKE & COMMENT! THE MORE LIKES &
COMMENT I GET THE MORE DETERMINED I FEEL TO UPDATE!
I Hope ARMY
and SONE enjoy and like my fic.
Vye...
0 komentar:
Posting Komentar