Kamis, 30 Juni 2016

Prolog

Summary: Menceritakan segelumit cinta segibanyak antara BTS dan SNSD. Mereka saling dipertemukan satu sama lain. Mengalami kisah yang berbeda-beda, cinta yang berantakan, benci akan penghianatan, kecemburuan yang terpendam, rasa kesal yang mencuat, amarah dan keinginan untuk saling memiliki satu sama lain akan mereka rasakan. "I want to be your oppa." dan apakah jawaban yang akan sang wanita berikan, "Yes or Not." ? Bad Summary. Please, Like & Comment. But Don't Flame. 
 Tittle: I Want To Be Your Oppa

Author: Din-din Hasan

Genre: Romance, Harem, Friendship, Love-Hate, Drama 

Rating: PG-15

Length: Multichapter

Disclaimer: Big Hit Entertaiment & SM Entertaiment

Cast: Kim Seok Jin, Suga/Min Yoon Gi, Jung Ho Seok, Kim Nam Joon, Park Ji Min, Kim Tae Hyung/V, Jeon Jung Kook, Kim Tae Yeon, Jung Soo Yeon/Jessica Jung, Lee Sun Kyu, Tiffany Hwang, Kim Hyo Yeon, Kwon Yu Ri, Choi Soo Young, Im Yoon Ah, Seo Joo Hyun, and others   


Chapter 1
.
.
.
 

Angin berembus perlahan membuat rambut seorang wanita sedikit berayun-ayun. Awalnya ia ingin melangkah pergi namun bunyi khas mesin mobil terdengar di telinganya, membuat ia berbalik untuk sekedar melihatnya. Matanya sedikit melebar─mungkin karena terkejut─sampai membuat kunyahan di mulutnya terhenti.


"Tiffany?" gumamnya tak percaya. Matanya mulai berkedip-kedip, ia membeku, masih syok dengan kenyataan yang dilihatnya. Namun sedetik kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala agar membuatnya tersadar. Cepat-cepat ia mengambil foto Tiffany sebelum ia menghilang di balik pintu. "Berhasil," seringaian terlihat di wajah cantiknya, "Yu Ri kau benar-benar beruntung," ucapnya begitu senang. Ia sampai sedikit meloncat-loncat kegirangan seperti anak kecil.


Seseorang laki-laki tiba-tiba terlihat, ia awalnya tengah berjalan santai dengan membawa segelas coffee di tangannya namun langkahnya terhenti ketika melihat Yu Ri. Tatapannya terus terarah kepada Yu Ri, wajahnya terlihat begitu keheranan tapi dia tetap melanjutkan perjalananya tanpa menghiraukan wanita tersebut. Ada wanita aneh, pikir orang tersebut. Sedangkan Yu Ri hanya bisa senyam-senyum sendiri. Ia mulai lagi merendahkan topinya agar wajahnya tak terlihat lalu ia berjalan pergi.


"Aku harus mendapatkan lebih banyak foto mereka berdua," gumam Yu Ri, wajahnya terlihat sedang berpikir. "Ah, aku tahu caranya," ia menjentikkan jarinya senang atas ide yang telah otaknya dapatkan.


Saat ini Yu Ri berada di parkiran, tempat mobil untuk berdiam diri sejenak sebelum tuannya membawanya pergi lagi. Ia berjalan perlahan-lahan sembari melihat-lihat sekelilingnya. Tanda pengenal yang tergantung di lehernya ia sembunyikan di balik pakaiannya.


"Aku harus menunggu di sini sampai ia terlihat, sial sekali diriku," gerutu Yuri, ide yang ia dapat ternyata tidak sepraktis yang ia pikirkan.


Yu Ri duduk di lantai yang sedikit kotor ini karena debu, tak ada pilihan lain baginya. Ia memangku kepalanya menggunakan tangan kanannya sembari melihat sekeliling takut-takut orang yang ia cari menampakkan batang hidungnya.


30 menit.


"Hoam, lama sekali," gerutunya geram. Matanya menatap malas sekitarnya.


1 jam.


"Ah,"─matanya yang mulai terpejam itu kembali melebar─"hah, dia lama sekali," gerutunya.


2 jam.


Tap ... Tap ... Tap ...


"Itu pasti dia," dengan semangatnya Yuri mulai berdiri. Ia mengatur posisinya agar tak terlihat, dengan kamera yang telah ia arahkan untuk memotret orang tersebut. Namun desahan keluar dari mulut sang gadis karena yang terlihat dari lensa kameranya bukan orang yang ia cari.


2 jam 30 menit.


"Aku benar-benar akan menyerah jika dalam 30 menit lagi dia tak terlihat juga," amuknya tak sabaran.


3 jam.


"Aku pergi sekarang," Yu Ri bangun dari duduknya lalu mulai melangkah untuk pergi dari tempat ini. Tapi, tiba-tiba seorang lelaki terlihat mendekat, membuatnya bersembunyi di balik mobil seseorang agar tak terlihat. "Mau apa dia?" tanya Yu Ri pada dirinya sendiri. Lelaki tersebut benar-benar terlihat mencurigakan di matanya. Rambutnya tertutup topi dan wajahnya tertutup masker. Yu Ri terus memperhatikan gerak-gerik orang tersebut yang semakin aneh. Kepalanya selalu menoleh ke kanan dan ke kiri, entah apa yang ia khawatirkan dan sekarang ia berdiri di dekat salah satu mobil mewah-Mercedes Benz E-Class silver-dengan sikap yang tetap sama. "Jangan-jangan dia pencuri,"-gumam Yu Ri terkejut, mulutnya sampai ia bekap menggunakan kedua tangannya-"aku harus melakukan sesuatu."


Duagh ... Duagh ... Duagh ...

 Terdengar suara sesuatu yang dipukul begitu keras.


"Aw ... aw ... Apa yang kau lakukan wanita gila," teriak lelaki itu kesakitan. Ia benar-benar tak habis pikir dengan wanita tersebut. Apa salahnya?


"Rasakan-rasakan, kau ingin mencuri mobil inikan?" tuduh Yu Ri, ia terus saja memukuli lelaki mencurigakan itu menggunakan sebelah sepatunya yang ia lepas.


"Aku buk-"


"Itu Suga," teriak seseorang, membuat semua orang yang berada di dekatnya menoleh ke arah pandangnya. Padahal ruangan ini merupakan tempat parkir yang biasanya terlihat sepi tapi kenapa begitu banyak orang.


"Heh? Suga," ucap Yu Ri begitu terkejut.


"Hah, sekarang itu tak penting. Kau ikut denganku," Suga menarik pergelangan tangan Yu Ri, memaksanya untuk masuk kedalam mobilnya agar ia bisa cepat-cepat meninggalkan tempat ini.


Brrruuuum ...

Mobil melaju cepat, meninggalkan para paparazi yang mengejar-ngejar dirinya.

"Hei, kau ingin membawaku kemana?" Yu Ri mulai lagi memukul tubuh Suga menggunakan sepatu yang masih dipegangannya agar dia menghentikan laju mobilnya.


"Hah, diam. Kau berisik sekali," amuk Suga, ia melepas topi dan juga maskernya dengan kasar. Wajah Suga akhirnya terlihat sepenuhnya, menunjukkan ekspresinya yang begitu menyeramkan.

Yu Ri diam sejenak lalu ia menelah ludahnya dengan susah payah karena tenggorokannya seketika mengering. Kaget, kata itu yang pas untuk menunjukkan ekspresi Yu Ri saat ini. Ia mulai duduk dengan benar, menghadap ke depan setelah itu ia memakai sabuk pengaman. Ia diam seribu bahasa.

"Gara-gara dirimu penyamaranku terbongkar. Kau tak punya otak sampai menuduhku seorang pencuri? Kau taruh dimana matamu itu? Padahal aku telah merencanakan hal tersebut matang-matang, dan dalam hitungan detik langsung hancur cuma gara-gara dirimu," ucap Suga marah tapi nada bicaranya tetap rendah dan masih terkontrol. Sebenarnya hati Yu Ri sangat gondok ketika mendengar ucapan Suga. Tapi ia tahan rasa ingin memberontaknya itu dalam-dalam dan hanya bisa pasrah menerima semprotan penyegar hati dari Suga. Karena Yu Ri tahu, ia juga bersalah dalam hal ini. "Kau tak punya kaus kaki lagi?" tanya Suga dengan nada menyindir. Tak sengaja matanya melihat hal tersebut.


"Jika aku bilang iya, kenapa?" tanggap Yu Ri dengan nada angkuh, ia mulai memakai lagi sepatunya. Ekspresinya seketika berubah menjadi kesal. Lama-kelamaan lelaki itu menyebalkan juga, membuat hati seorang wanita terluka. Memangnya kenapa jika kaus kaki yang kupakai bolong? Ini bukan urusannya, geram Yu Ri dalam hati. "Kau ingin membelikannya untukku?" cibir Yu Ri tak suka. Dia berniat untuk membalas sindiran Suga.


"Tidak. GR sekali dirimu," kata Suga diakhiri dengusan.


"Kalau begitu, biarkan aku bekerja," senyum di wajah Yu Ri mengembang. Ia lupa bahwa dirinya sedang bersama Suga, orang yang sedari tadi ia tunggu, aktor yang harus ia buntuti untuk bisa mendapatkan berita bagus tentangnya.


Cekrek ... cekrek ... cekrek ...

Yu Ri memotret wajah Suga dari segala arah yang menurutnya bagus.


"Hey, apa yang kau lakukan?" tanya Suga geram. Ia benar-benar tak menyukai para paparazi itu. Seenak jidat mereka mengambil fotonya untuk dijadikan bahan gosip tak bermutu. Suga mencoba menghalangi kamera Yu Ri menggunakan tangan kanannya agar Yu Ri tak bisa mengambil fotonya.


"Aku fans-mu," ucap Yu Ri berbohong. Mana mungkin Suga tahu bahwa dia salah satu dari paparazi itu, toh orang yang membawa kamera tak semuanya disebut paparazi.


"Fans kau bilang?" Suga malah mengajukan pertanyaan dengan nada mengejeknya, seakan merasa lucu dengan perkataan Yu Ri.


"I-iya, benar sekali," entah kenapa perkataan Yu Ri sedikit terbata.


"Keluar sekarang," Suga menghentikan laju mobilnya. Mood-nya benar-benar buruk hari ini, malah ditambah gangguan wanita gila yang entah siapa. Ketika mengatakannya ia berteriak keras, tak mampu menahan amarahnya lagi.


"Aku akan keluar, kau tak perlu marah-marah seperti itu kepadaku," amuk Yu Ri. Ia membuka sabuk pengaman di tubuhnya dengan terburu-buru lalu keluar dari mobil dan menutupnya sedikit keras. Yu Ri melihat mobil mewah itu melaju kembali. "Dasar, sombong sekali dia. Awas saja dia. Suga, kau akan tahu akibatnya nanti," tatapan tajam terus mengarah kepada mobil Suga sampai mobil itu hilang dipenglihatannya. Yu Ri berbalik, lalu melangkah pergi namun tiba-tiba ia berhenti. "Tidak, kenapa dia membawaku sejauh ini?"


.


.



.


"Jung Kook, kau sedang melakukan apa?" tanya seorang pemuda berseragam sekolah kepada teman di sampingnya. Tempat duduknya berada di deretan kedua dari pintu baris terakhir sedangkan tempat duduk Jung Kook-teman yang ia panggil-berada di pojokan.


"Kau tidak melihat aku sedang melakukan apa?" bukannya menjawab, Jung Kook malah balik bertanya. Dia tak menoleh sedikitpun dan terus berkonsentrasi dengan apa yang ia lakukan. Wajahnya terlihat begitu serius sampai terdapat kerutan di dahinya.


"Kau sedang menulis catatan, tumben sekali," heran temannya. Dia tak terlihat kesal ataupun marah, wajahnya malah terlihat bingung dengan tingkah laku Jung Kook yang di luar kebiasaan.


"Bukan," jawab Jung Kook cepat, ia terlalu malas untuk menanggapi ucapan temannya.


"Lalu?" kerutan juga terlihat di keningnya.


"Aku sedang menulis surat cinta," ucap Jung Kook sembari menoleh ke arah temannya lalu tersenyum.


"Heh?" terkejutnya, "kau tak ingin memperhatikan Tae Yeon Noona? dia terlihat begitu cantik saat ini, kau akan menyesal nantinya," teman Jung Kook berbicara sembari memandangi guru yang ia bilang cantik tersebut. Kepalanya ia topang menggunakan salah satu tangannya. Dia terlihat tersenyum lebar.


"Tae Yeon Noona? Kau menyebut Seonsaengnim seperti itu?" Jung Kook berkata sembari berteriak, antara terkejut dan tak terima.


"Jeon Jung Kook, kau bisa diam," tegur sang guru yang bernama Kim Tae Yeon. Guru muda yang memiliki paras menawan dengan suaranya yang indah bak kicauan burung. Umurnya yang masih di kisaran angka 20+ itu membuat murid-murid lelakinya tak segan terang-terangan mendekatinya. Berbagai modus mereka lakukan. Ia baru beberapa bulan bekerja di sini.


"Maafkan aku," ucap Jung Kook sembari berdiri lalu membungkuk hormat. Ia kemudian duduk kembali, kedua matanya menatap tajam temannya itu. Ini semua gara-gara kau, ucap inner Jung Kook marah.


"Le-lebih ba-baik ka-kau teruskan sa-saja menulisnya," ucapnya tergagap, takut dengan tatapan Jung Kook yang mematikan. Karena Jung Kook lebih sering tersenyum konyol daripada memperlihatkan ekspresi menyeramkannya itu. Jadi bisa dibilang bahwa ia sedang terkejut.


"Ah, iya juga," Jung Kook kembali meneruskan aktivitasnya tadi dengan wajahnya yang kembali terlihat ceria.


"Selamat," gumamnya pelan, ia menghela napas sangat panjang.


Tet... Tet... Tet...


"Saya akhiri sampai di sini, jangan lupa untuk membaca catatan kalian di rumah," Tae Yeon melangkah pergi meninggalkan kelas tersebut. Seruan terdengar dari para siswa yang terlihat kecewa karena jam pelajaran Tae Yeon berakhir sedangkan para siswi malah bersorak gembira.


"Kau ingin kemana? Tak ingin pulang?"


"Aku?" tunjuk Jung Kook pada dirinya sendiri, "ingin menemui Seonsaengnim," jawabnya setelah mendapat anggukan dari temannya. Jung Kook kemudian melangkah pergi dengan amplop pink yang berada digenggamannya, wajahnya terlihat begitu bahagia sampai ada kerlip bintang dimana-mana.


Keadaan di sekolah ini telah terlihat sepi, tak ada lagi murid-murid yang berlalu lalang di koridor sekolah. Semua kelas juga sudah tertutup rapat tanpa adanya penghuni yang masih tertinggal. Langit juga sudah tak berwarna sebiru biasanya.


"Seonsaengnim, kau akan pulang sendirian?" tanya seorang murid kepada gurunya. Ia sedari tadi berdiri di balik pagar sekolah, menunggu sang guru keluar. Seseorang yang merasa dipanggil menoleh lalu ia tersenyum sekilas.


"Jeon Jung Kook kenapa kau masih berada di sini? Menunggu jemputan?" guru yang berjenis kelamin perempuan itu menghampiri muridnya yang bernama Jung Kook, berdiri di hadapannya.


"Kalau aku bilang iya, Seonsaengnim ingin menunggu di sini bersamaku?" mata lebar Jung Kook menatap gurunya dengan penuh harap. Sang guru yang ditatap seperti itu menghela napas, lalu tersenyum.


"Baiklah," ia menyetujui ajakan Jung Kook lalu memposisikan dirinya berdiri di samping Jung Kook. Senyum mengembang di wajah tampan Jung Kook, ia terlihat begitu senang. Padahal sebenarnya ia tak dijemput oleh siapa-siapa dan hanya ingin menunggu gurunya pulang.


"Bolehkah aku memanggil Seonsaengnim dengan sebutan Tae Yeon Noona?" tanya Jung Kook begitu polosnya, membuat gurunya hanya bisa tertawa geli.


"Bukannya Seonsaengnim tak memperbolehkannya tetapi kita memiliki batasan tertentu, hanya sebagai seorang guru dan muridnya, tak lebih." jelas Tae Yeon sembari memperlihatkan senyum di wajahnya, entah sudah berapa kali ia tersenyum kepada muridnya ini.


"Jika aku sudah lulus sekolah, Seonsaengnim akan menerimaku?" sedari tadi wajah Jung Kook begitu polos, entah dia mengerti atau tidak maksud Tae Yeon sebenarnya. Dia memasukkan tangan kanannya kedalam saku celana, berniat untuk mengambil sesuatu yang ada di dalam.


"Tapi Seonsaengnim ingin menikah dengan lelaki yang telah memiliki pekerjaan dan segera membina rumah tangga bersama," Tae Yeon menjelaskan hal tersebut dengan perlahan agar Jung Kook bisa mengerti tanpa perlu melukai hatinya. Tae Yeon telah terbiasa menghadapi tingkah laku murid-muridnya yang begitu ngotot untuk bisa berkencan dengannya. Bahkah setiap hari ia dikerumuni murid-murid lelakinya itu.


Jung Kook terlihat berpikir sebentar, ia mengurungkan niatnya untuk mengambil sesuatu yang ada di saku celananya.


"Setelah lulus SMA aku sudah bisa bekerja. Jadi Seonsaengnim tak usah khawatir. Tunggu aku sebentar lagi," Tae Yeon hanya bisa tersenyum melihat tingkah muridnya itu yang begitu kukuh untuk menjadikannya istri. Padahal temannya yang lain hanya sekedar mengagumi dia saja, tak lebih.


"Ta-" ucapan Tae Yeon terhenti ketika melihat Jung Kook malah meninggalkannya. Ia terus memperhatikan Jung Kook yang melangkah pergi, ia berjalan mundur, tangannya melambai-lambai ke arah Tae Yeon, dan senyumannya terus mengembang tanpa henti. Apa yang ada dipikirannya saat ini?


Setelah Jung Kook benar-benar pergi, Tae Yeon berbalik dan melangkah untuk pulang ke rumahnya. Namun langkahnya malah berhenti seketika, ia mendengus geli. "Dia tak dijemput?" gumam Tae Yeon.


.


.


.


Terlihat para polisi sedang berbaris rapi dengan pakaian khas mereka yang berwarna hijau lumut. Di sana sedang ada upacara penyambutan polisi baru atau bisa dibilang mereka adalah seorang detektif. Nantinya mereka akan bekerja mencari orang hilang ataupun menangkap tersangka, tergantung dengan pilihan mereka masing-masing. Setelah mendengarkan pidato yang sedikit membosankan, mereka akhirnya dibubarkan.


"Ini tempat dudukku," gumam seorang wanita ketika berhasil menemukan tempat duduknya, lalu ia mendudukinya. Itu terlihat dari papan nama yang ada di sana bertuliskan namanya, Jung Soo Yeon. Lalu dia membaca papan nama di sebelah kanan dan kirinya, ingin mengecek sesuatu, "Lee Wo Young dan Kim Tae Hyung," gumamnya pelan, "syukurlah aku tidak bersebelahan dengan orang aneh itu," senyum simpul terlihat di wajahnya.


"Wah, aku berhasil menemukanmu," teriak seseorang pria kegirangan. Setelah itu ia malah meloncat-loncat bak monyet yang menemukan pisang. Membuat Soo Yeon menoleh, melihat siapa orang aneh tersebut. Sebenarnya berapa banyak orang aneh yang akan bekerja di sini?, pikir Soo Yeon kesal. Ia benar-benar tak ingin terlibat lebih jauh dengan mereka, pasti sangat merepotkan.


"V," panggil Soo Yeon sedikit terkejut. Orang yang merasa disebut namanya menoleh, menunda aktivitas monyetnya sementara waktu. "kenapa kau di sini? Bukankah ini tempat Kim Tae Hyung?" tanyanya ragu.


"Hahaha, akulah Kim Tae Hyung, lalu bagaimana denganmu? Di situ tertulis Ju-ung So-o Ye-on," V mengeja papan nama yang berada di meja Soo Yeon, matanya menyipit, dan keningnya berkerut. Itu dilakukan karena dia kesulitan melihatnya, "yup, benar Jung Soo Yeon," ia menepuk tangannya, hal itu sedikit membuat Soo Yeon terkejut.


"Jadi namamu Kim Tae Hyung, lalu bagaimana dengan V?" tanya Soo Yeon lagi. Ia masih belum bisa menerima kenyataan ini. Mungkin saja V melakukan sebuah kesalahan.


Seketika V menolehkan kepalanya ke kanan lalu ke kiri setelah itu tiba-tiba ia mendekat ke arah Soo Yeon, membuat jarak di antara mereka terlampau pendek sampai keduanya bisa merasakan deru napas masing-masing. Mata Soo Yeon membulat sempurna memperhatikan tatapan V yang begitu tajam. Tapi itu tak bertahan lama karena...,


Plaaak...
Soo Yeon memukul kepala V keras.


"Aw, sakit," ringis V sembari mengelus kepalanya. Ia sedikit memundurkan tubuhnya, memberi jarak di antara mereka lagi. "padahal aku hanya ingin membisikkan sesuatu agar semua orang yang ada di sini tak bisa mendengarnya. Karena ini adalah sebuah rahasia pribadiku," ungkap V dengan wajah cemberutnya dan itu terlihat sangat menggemaskan. Namun itu tidak berpengaruh bagi Soo Yeon, ia tetap saja berwajah galak, masih tak terima dengan perlakuan V padanya.


"Ceritakan saja dari situ, tak usah dekat-dekat," Soo Yeon berkata sembari mendelik tajam ke arah V. Kedua tangannya ia lipat dan diletakkan di depan dada, menambah seram wajah sang wanita.


"Itu karena aku sekarang seorang detektif dan aku tak ingin orang lain mengetahui identitas asliku," kata V yang bisa dibilang berteriak, membuat semua orang yang berada di gedung ini menatapnya heran.


"Dasar bodoh," dengus Soo Yeon, ia menolehkan wajahnya ke arah kiri.


"Jadi itu alasannya, jangan beritahu siapa-siapa. Janji?," V kemudian duduk di kursinya lalu memutarnya untuk bisa menghadap Soo Yeon. Ia bahkan tak sadar bahwa semua orang yang berada di sini telah mendengar perkataannya, " lalu bagaimana dengan dirimu, Jessica?"


"Aku lebih menyukai nama itu daripada nama koreaku," Soo Yeon/Jessica menjawab pertanyaan V walau sebenarnya dalam hati dia menolak untuk berurusan lebih jauh lagi dengan orang bodoh ini.


"Nama korea? Memangnya-"


"Aku dilahirkan di San Fransisco, California, Amerika Serikat," jelas Jessica memotong ucapan V.


"Wow, ka-kau-"


"Kalian berempat ikut aku." lagi-lagi ucapan V terpotong karena seorang pria tiba-tiba datang.


"Baik Pak," ucap mereka serempak dan tegas dengan posisi yang telah berdiri tegap tak terkecuali V.


Saat ini terdapat lima orang yang berada di satu ruangan, ruangan grup mereka. Di tempat ini nantinya alat-alat mereka diletakkan, seperti pistol, pelindung badan dan lainnya. Satu dari mereka merupakan senior yang akan membingbing mereka selama menjadi seorang junior.

Sedari tadi satu-satunya wanita yang ada di sini menatap tajam ke arah salah satu pria, ia merutuk dalam hati. Ternyata doanya tak dikabulkan oleh Tuhan, nyatanya ia akan satu grup dengan pria aneh tadi. Tapi semoga saja dia tak berpatner dengannya. Mana mungkin itu juga terjadi, pikirnya positif.


"Selamat untuk kelulusan kalian," senior itu tersenyum, "bekerjalah dengan baik, aku tak ingin terlibat masalah konyol karena ulah kalian, mengerti?" senyumannya memudar, digantikan oleh tatapan tajam bak seorang pembunuh berdarah dingin. "Namaku Kwan Jae Suk, kalian bisa memanggilku Sir."


"Baik Sir."


"Perkenalkan diri kalian masing-masing, mulai dari kau wajah imut," tunjuk Jae Suk kepada V. V hanya tersenyum atas pujian yang ia terima tapi nyatanya senior itu sedang menyindirnya.


"Nama saya Kim Tae Hyung, tapi tolong panggil saya V. Jika kalian bertanya alasannya, saya tidak akan memberitahukannya,"-Jessica memutar bola matanya bosan ketika mendengarkan ucapan V itu. Pasalnya V telah mengatakan alasannya dan itu didengar semua orang yang berada di gedung ini, entah mereka peduli atau tidak-"Saya berasal dari Daegu, umur saya saat ini 19 tahun dengan tanggal lahir 30 Desember 1995. Jika kalian ingin memberikan hadiah ulang-"


"Cukup," potong Jae Suk, "kau sangat cerewet sekali, cukup beritahu namamu, asalmu, dan juga umur."


"Tapi Sir tidak mengatakan-"


"Tak ada bantahan," Jae Suk berteriak sedikit keras dengan ekspresi wajahnya yang ia buat menakutkan. Membuat V diam seribu bahasa, kali ini ia menundukkan kepalanya rendah.


"Kau," tunjuknya pada Jessica.


"Namaku Jessica Jung, umur 26 tahun," kata Jessica yang terlampau singkat, itu karena mood-nya benar-benar buruk hari ini.


"Jarang sekali seorang wanita melamar pekerjaan ini, semoga kau tak akan menjadi hambatan untuk kami," ucap Jae Suk dengan ekspresi meremehkan yang ia tunjukkan kepada Jessica.


"...," Jessica tak menanggapi ucapa Jae Suk, namun seketika ia merasakan tepukan di pundaknya. Reflek Jessica menolehkan kepalanya.


"Tenang saja, aku akan melindungimu," ucap V begitu bersungguh-sungguh, ekspresinya kali ini terlihat lebih serius. Jessica mulai menghela napas panjang, tak begitu yakin dengan ucapan V. Entah kenapa ia memiliki firasat bahwa orang ini yang akan sangat merepotkannya nanti.


"V akan berpasangan dengan Jessica, kalian akan menjadi patner," ketika mendengarnya Jessica langsung menatap Jae Suk, matanya membulat sempurna. Oh tidak, teriaknya dalam hati.


"Yey, kita akan menjadi patner. Kau pasti senang," V tertawa bahagia, ia sampai menari-nari tak jelas. Untung saja Jae Suk sudah keluar dari ruangan ini jika tidak dia akan memarahi V lagi karena kelakuannya itu. "Patner Jessica, ah tidak, Patner Sica, ah tidak, kau lebih tua dariku jadi Patner Noona...," kepala Jessica berkedut menahan amarah, "... bagaimana jika kupanggil Patner saja," ucap V senang, ia terlihat begitu bahagia. Benar-benar hari pertama masuk kerja yang menyenangkan, baginya.


"Terserah kau saja," tukas Jessica, kali ini ia sedikit memijit-mijit kepalanya yang terasa pusing seketika. Jika tahu begini ia tidak akan membantah keinginan orang tuanya. Masa-masa indah di hidupnya telah berakhir.


.


.


.


Beberapa orang yang awalnya merasa terusik mulai lagi memakan-makanannya dengan nyaman sedangkan seorang waiter mulai membersihkan lantai yang berserakan beling di atasnya. Setelah dirasa bersih, ia kembali ke tempatnya, duduk nyaman di atas kursi sambil menunggu seseorang memesan atau pesanan selesai dibuat untuknya antar. Ia terlihat menghela napas panjang, mengatur detak jantungnya yang berdebar keras. Tangannya tak lagi bergetar namun wajahnya terlihat sedikit pucat.


"Sun Kyu, kau baik-baik saja?" tanya seorang pria yang mendekat ke arahnya. Ia terlihat khawatir.


"Baik Chef," jawab Sun Kyu cepat. Ia berusaha untuk tersenyum ceria walau terlihat sekali sangat dipaksakan.


"Benarkah?" chef muda tersebut tersenyum, ia tak bisa dibodohi seperti itu, jelas-jelas wajah Sun Kyu terlihat tidak baik-baik saja. Ia mengambil kursi yang berada di situ untuk ditariknya mendekat agar ia bisa duduk di depan Sun Kyu.


"Chef, kenapa kau begitu baik padaku? Aku hanya seorang pelayan di sini, seharusnya kau tak usah mengkhawatirkanku," mata Sun Kyu mulai berkaca-kaca, ia mencintai lelaki di depannya namun cinta itu pastinya bertepuk sebelah tangan. Jadi ia tak ingin diperhatikan seperti ini, senang dan sakit bercampur menjadi satu di dalam hatinya.


"Kau juga elemen penting yang harus ada di restoran ini. Jika tidak ada kau, sama saja semuanya palsu," ketika mendengarnya Sun Kyu tersenyum kecut, ia menatap tulisan di baju hitam chef tersebut yang bertuliskan Kim Seok Jin. Kapan kau bisa melihat ke arahku? Hanya aku?, ucap inner Sun Kyu.


"Ah iya, maafkan aku karena sudah membuatmu khawatir Chef," padahal Sun Kyu sudah paham jika nantinya mencintai Seok Jin akan membuat dirinya terluka. Awalnya dia tak menghiraukan hal tersebut sedikitpun, sungguh, melihatnya saja sudah merupakan anugrah terindah untuknya. Tapi semakin lama dia semakin menjadi egois, ia menginginkan pria itu menjadi miliknya. Apakah itu salah?



"Jika kau merasa tak enak badan seharusnya kau izin saja kepadaku, aku tak akan memarahimu," tukas Seok Jin sembari tersenyum. Ia lalu mengelus-elus kepala Sun Kyu gemas sedangkan yang dielus malah menunjukkan ekspresi kesalnya.


"Sudah kubilang aku bukan anak kecil," Sun Kyu mengembungkan pipinya. Hal tersebut malah membuat Seok Jin tertawa. "Hey... Hey... Chef menertawakanku," ekspresi Sun Kyu tak berubah.


"Hehehe, mian."


"Kim Seok Jin," panggilan itu membuat mereka berdua menoleh. Terlihat di sana berdiri seorang wanita yang memiliki surai panjang berwarna kecoklatan. Ia memakai kacamata hitam dan masker, membuat wajahnya tak terlihat.


"Tif-" Seok Jin memotong ucapannya sendiri, lalu ia berdiri dan melangkah mendekati sang wanita yang memanggilnya. "Kita jangan bicara di sini, ayo," ucap Seok Jin sembari menarik pergelangan tangan wanita tersebut sedangkan Sun Kyu hanya bisa melihat mereka berdua pergi meninggalkannya. Sun Kyu terus memperhatikan punggung tegap Seok Jin yang semakin menjauh dan di sebelahnya ada punggung wanita lain yang bersamanya. Sedangkan dia hanya bisa diam tanpa bergeming sedikipun. Sungguh ia tahu, selama ada wanita itu Seok Jin tak akan pernah berpaling kepadanya. Hanya wanita itu yang ada di dalam hati dan pikiran Seok Jin. Saat berpikir tentang kenyataan tersebut dada Sun Kyu benar-benar terasa sakit.


Saat ini, Seok Jin dan wanita tersebut telah berada di atap. Di atas sana masih ada ruangan yang telah di sulap Seok Jin menjadi tempat kerja dan tempat istirahat, mungkin.


"Aaa... Kau tak ingin kita bicara di depannya, memangnya kenapa? Ketika aku tak ada, kau bermesraan dengannya? Hah? Waiter-mu sendiri?" wanita itu terlihat sangat marah. Sesampainya di tempat tersebut ia langsung menghempaskan tangan Seok Jin kasar.


"Bukan seperti itu Tiffany. Kau tak inginkan, hubungan kita diketahui awak media. Lagi pula kami hanya sebatas teman saja, jangan salahkan dia," kata Seok Jin pelan, tak ingin membuat wanitanya semakin marah.


"Iya aku tahu, itu mauku. Ta-tapi kau tak bisa bermesraan bersama orang lain ketika aku tidak ada. Aku tahu bahwa aku tak pernah bisa mengerti, selalu menuntut ini dan itu darimu ta-tapi-" Tiffany benar-benar marah, kepada dirinya dan juga semuanya. Terkadang dia merasa sangat tertekan dan tak tahu bagaimana cara mengatasinya.


"Itu tidak benar, aku yang sala-"


"Kau selalu seperti itu, menganggap dirimulah yang salah. Padahal semua ini adalah kesalahanku," Tiffany memotong ucapan Seok Jin. Ia benar-benar tak bisa mengontrol emosinya saat ini. Dia paling tidak suka jika miliknya disentuh orang, dia hanya ingin Seok Jin melihat dirinya dan tidak untuk orang lain. Apakah itu salah?


"Kenapa kita selalu bertengkar akhir-akhir ini? Kumohon Tiffany, tenanglah. Aku ingin melihat wajahmu sebentar saja sebelum kau pergi lagi," mata Seok Jin terlihat berkaca-kaca, ekspresinya benar-benar kalut, ia tak ingin wanitanya pergi lagi.


"Maafkan aku, tapi sepertinya aku harus pergi lagi," Tiffany menundukkan kepalanya, entah bagaimana ekspresinya saat ini karena wajahnya yang tertutup masker dan kacamata. Tiffany lalu melangkah pergi namun langkahnya terhenti karena Seok Jin memegang pergelangan tangannya. Tubuh Tiffany membeku, ia tak berusaha menoleh sedikitpun.


Greb...
Seok Jin memeluk punggung Tiffany, ia begitu rindu dengannya. Akhir-akhir ini, ketika mereka bertemu selalu saja mereka habiskan waktu dengan bertengkar dan tak beberapa lama Tiffany pergi. Hey, dia juga mempunyai batasan. Hatinya juga selalu perih ketika memikirkan Tiffany bersama lelaki lain. Berbicara dengannya, berpelukan dengannya, berpegangan dengannya, dan tertawa dengannya walau semua itu karena urusan pekerjaan.


"Lepaskan, aku tak punya banyak waktu lagi," ucap Tiffany. Namun ia tak berusaha untuk melepas tangan Seok Jin yang melingkar di badannya.


"Sebentar lagi," ingin rasanya Seok Jin menangis di hadapan Tiffany agar dia tahu betapa sakitnya hati Seok Jin. Menangis agar Tiffany tak bisa meninggalkannya, terkadang seorang lelaki juga butuh menangis, memperlihatkan sisi lemah mereka. Seok Jin menarik napas, ia mempersiapkan dirinya untuk mengakhiri pelukan ini. Berat, sangat berat rasanya, sungguh ia tak ingin melakukannya.

Seok Jin melihat punggung Tiffany yang semakin jauh darinya dan hilang di balik pintu. Dirinya hanya bisa diam tak ingin melangkah kemana-mana.


"Jangan pergi," gumamnya pelan.


.


.


.


Terlihat sebuah gedung yang dicat serba putih, di luar ataupun di dalamnya. Bau khas obat-obatan mulai tercium ketika kau menginjakkan kakimu ke dalam. Di sana-sini terlihat orang-orang yang memakai baju sama ataupun tidak. Ada juga perawat dan juga dokter yang siap melayani keluhan yang dirasa tubuhmu. Salah satunya, dokter Park Ji Min bersama perawat Seo Joo Hyun yang selesai mengecek keadaan pasiennya.


"Joo Hyun-ah~" Ji Min mulai berbalik menatap Joo Hyun, ia tersenyum sekilas memperlihatkan pesonanya, berharap Joo Hyun akan terpikat juga. Sedari tadi para gadis-gadis yang ia cek selalu memuji pesonanya tersebut, mereka sampai berteriak-teriak.


"Iya Dokter Ji Min?" tanya Joo Hyun. Ekspresinya tak berubah, seperti biasanya.


"Kau baik-baik saja kan?" Ji Min berbicara sembari terus tersenyum. Ia masih berusaha membuat Joo Hyun terpikat ke dalam pesonanya yang selalu ia banggakan. Tatapan matanya yang manja ditambah senyum mematikan dari bibir seksinya.


"Kau sedang sariawan?" tanya Joo Hyun begitu polos. Dia tidak mengerti akan keadaan yang ingin diciptakan Ji Min, "atau kau sedang sakit perut?"


"Hah...," Ji Min menghela napas panjang, ia gagal lagi, "tidak," jawab Ji Min lemas, ia kehilangan semangatnya yang tadi. Kenapa usahanya yang selalu memberi kode kepada Joo Hyun selalu gagal bahkan sampai tak ada tanggapan. Sungguh malang nasibnya.


"Kalau begitu aku pergi dulu," Joo Hyun melangkah pergi meninggalkan Ji Min yang masih di tempatnya. Wajahnya terlihat murung. Namun langkah Joo Hyun tiba-tiba terhenti membuat Ji Min menegapkan tubuhnya dan menyisir rambutnya ke belakang. Ia sudah siap, "Dokter-"


"Iya," Ji Min langsung menanggapi ucapan Joo Hyun. Arah pandangnya ke kanan dan ke kiri, tak fokus, ia benar-benar gugup kali ini.


"Kau terlihat aneh sedari tadi. Benar kau baik-baik saja?" setelah mendengar ucapa Joo Hyun, Ji Min langsung membeku menjadi es batu. Tidaaak, Joo Hyun menganggapku aneh, teriak inner Ji Min. "Sepertinya kau butuh istirahat, jangan terlalu memaksakan dirimu," Joo Hyun tersenyum membuat hati Ji Min langsung menghangat menjadi musim semi. Kupu-kupu mulai terlihat keluar dari perutnya. Dia mengkhawatirkanku, ucap inner Ji Min tak percaya. 

"Joo Hyu-" perkataan Ji Min terhenti ketika tak melihat Joo Hyun di hadapannya lagi. Tidaaak, aku menghilangkan kesempatan langka ini, sesal inner Ji Min. Ia sampai berlutut di lantai.

"Dokter, kau baik-baik saja?" tanya seorang pasien yang kebetulan lewat.


"Aku baik-baik saja, terima kasih," saat Ji Min ingin memperlihatkan senyuman andalannya, ia langsung berhenti, ingat dengan perkataan Joo Hyun.


"Tapi ekspresimu terlihat sangat aneh?" tidak, bukan hanya Joo Hyun yang mengatakannya aneh tapi semua orang, reputasinya telah hilang, "kau harus bangun, dan segera ke ruanganmu untuk istirahat. Kau ingin aku mengantarkanmu?" pasien yang umurnya sudah tua tersebut menuntun Ji Min untuk berdiri lalu mengantarkannya.


"Sebenarnya siapa pasien di sini?" gumam Ji Min miris.


.


.


.


Semilir angin berembus, menggoyang-goyangkan perlahan rambut seorang wanita. Ia tengah berdiri di depan sebuah gedung atau bisa dibilang mall. Ia membuka kacamata coklat yang menghalangi matanya lalu tersenyum sekilas. Akhirnya ia melangkah mendekat ke arah gedung tersebut, berjalan bak model di atas catwalk. Sesampainya ia di dalam, ia langsung memasuki lift yang terdapat di sana dan memencet angka di lantai teratas. Saat lift hampir saja tertutup, seorang wanita lain masuk. Mereka hanya berdua, dan saling merasa tak nyaman dengan keadaan ini.


"Yoon Ah ssi, kau di sini juga? Dari mana saja kau? Keluyuran?" ucap wanita pertama dengan nada sinisnya, ia tak menoleh sedikitput kepada lawan bicaranya, kedua tanggannya ia lipat dan ditaruh di depan dada.


"Ah, Soo Young ssi, kau memang pintar. Selalu bisa menebak kemana perginya aku, seharusnya kau bekerja menjadi peramal," sindir Yoon Ah. Lirikan matanya begitu tajam menatap Soo Young. Jika mereka bertemu selalu saja Soo Young menghinanya, inilah itulah, dia pikir Yoon Ah tak akan membalas perkataannya, "kau sendiri ingin menemui Kim Sajangnim?"


"Tentu saja, memangnya aku ingin menemuimu?" Soo Young mendengus, ia sangat tak menyukai wanita di sampingnya ini. Dia musuh terberatnya untuk mendapatkan hati Nam Joon walau mereka berdua sebenarnya memang dijodohkan. Soo Young masih menunggu kapan mereka akan resmi bertunangan, "dan kau jangan kecentilan mendekati Nam Joon-ku, bukankan sekretaris saat ini memang selalu mengambil kesempatan ketika ada," Soo Young berucap dengan angkuhnya, masih tak mau menatap lawan bicaranya.


"Heh," Yoon Ah malah mendengus, ia tak habis pikir Nam Joon bisa dekat dengan orang seperti Soo Young, kasihan sekali dia, "kau pikir aku menyukai Kim Sajangnim, tenang saja aku tak akan merebut apa yang ingin kau miliki."


Tring...
Mendengar suara itu Yoon Ah melangkah ke luar dari lift, berada di dalam sana hanya membuat kepalanya panas. Kenapa wanita itu selalu saja memulai perselisihan dengannya? Jika dia merasa terancam, seharusnya dia berusaha ekstra untuk mendapatkan hati Nam Joon bukan malah mengurusi orang lain. Menghabiskan waktu dan tenaga saja.


"Memang seharusnya seperti itu," tanggap Soo Young, ia mulai berjalan ke luar dari lift. Terus melangkah sampai ia berhenti di depan pintu, mengetoknya perlahan.


"Masuk," setelah mendengar seruan dari dalam, Soo Young langsung membuka pintu yang lumayan besar itu.


"Kau masih sangat sibuk?" tanya Soo Young ketika melihat Nam Joon masih betah mengurusi berkas-berkas yang ada di mejanya. Soo Young menutup pintu tersebut sebelum melangkah lebih dekat lagi kepada Nam Joon.


"Ya," jawab Nam Joon seadanya, ia masih fokus dengan dokumen di depannya.


"Padahal sudah memasuki jam makan siang," Soo Young duduk di kursi yang berada di depan meja Nam Joon, ia menopang dagunya untuk bisa memperhatikan lekat-lekat wajah tampan Nam Joon.


"Benarkah?" sekilas Nam Joon beralih menatap jam tangannya, "aku akan segera selesai."


"Tentu, aku akan menunggumu," senyum simpul terlihat di wajah Soo Young, entah kenapa dia begitu bahagia. Yah, wanita ini benar-benar mencintai Nam Joon, bukan karena hartanya saja, "jangan sampai sakit," gumam Soo Young ketika melihat Nam Joon yang begitu gila bekerja. Padahal saat ini waktunya istirahat, tapi dia masih betah berkutat dengan semua kertas-kertas di hadapannya yang entah apa.


"Kau mengatakan sesuatu?" tanya Nam Joon memastikan, ia tak mendengar dengan jelas perkataan Soo Young.


"Anio," Soo Young menggeleng pelan. Ia begitu malu mengatakannya langsung kepada Nam Joon, entah karena apa. Astaga, sejak kapan tingkahku menjadi seperti ini, teriak inner Soo Young.


"Aku sudah selesai, sekalian saja kita ajak Sekretaris Im untuk makan bersama. Dia juga pasti sangat lelah," Nam Joon telah berdiri dan melangkah pergi meninggalkan Soo Young yang masih betah duduk di sana.


"Siapa? Sekretaris Im? Aku hanya ingin makan berdua denganmu," Soo Young terlihat begitu kesal, ia bahkan sampai berteriak, dan kedua kakinya ia hentakkan di atas lantai. Namun, setelah itu Soo Young berdiri dan melangkah mengejar Nam Joon.


"Sekretaris Im, kau ingin makan bersama dengan kami?" tanya Nam Joon, di sampingnya ada Soo Young yang telah bergelayut manja di tangannya.


"Ah, aku sudah makan. Terima kasih, kalian pergi saja berdua," tolak Yoon Ah, bukan karena ia takut akan tatapan Soo Young yang membunuh ke arahnya. Tapi dia tidak ingin dicap sebagai perebut gebetan orang. Lagi pula belum tentu Nam Joon menyukainya, dia hanya terlampau baik ingin mengajak sekretarisnya makan juga.


"Kalau begitu, kita berdua keluar sebentar," Nam Joon tak mencoba memaksa Yoon Ah.


"Baik, Kim Sajangnim,"-Yoon Ah sedikit membungkukkan badannya sopan-"Dasar, gara-gara dia aku tak jadi makan gratis," Yoon Ah mengelus-ngelus perutnya yang berbunyi, bibirnya sedikit ia monyongkan.


.


.


.


Seorang lelaki tengah melangkah santai sembari perlahan meminum segelas coffee yang berada digenggamannya. Walaupun tadi harinya sedikit terganggu karena bertemu dua wanita angkuh dan satu wanita aneh, tapi hal itu tak langsung bisa mematahkan semangatnya hari ini. Sampai...,


Duaghh...

Ah, coffee digenggamannya tumpah dan mengenai bajunya. Sial, siapa orang yang tak memiliki mata tersebut sampai-sampai menabrak dirinya.


"Ah, maafkan aku," seorang wanita yang memiliki surai pirang itu berkata dengan pelannya. Wajahnya tak terlihat karena terhalang surainya, "kau baik-baik saja?" tanyanya sembari mengeluarkan saputangan lalu mengelap baju orang yang ditabraknya, dan itu sangat tergesa-gesa.


"Aw, aw, kau bisa pelan-pelan sedikit."


"Ah, sekali lagi maafkan aku," wanita itu mengatakannya lagi, ia menyingkirkan surainya yang menghalangi matanya sampai wajahnya terlihat sepenuhnya.


"Hyo Yeon ssi," ucap sang lelaki terkejut, "sedang apa kau berada di sini?" tanyanya bingung. Baru saja ia meninggalkan cafe itu dan saat ini pelayannya sudah ada di depannya.


"Ah," Hyo Yeon terlihat sedang berpikir, mengingat-ingat sesuatu.


"Jung Ho Seok," Ho Seok memperkenalkan dirinya.


"Ah, ya. Kau sendiri sedang apa di sini?" bukannya menjawab, Hyo Yeon malah memberi pertanyaan yang sama untuk Ho Seok.


"A-"


"Aku tidak perlu tahu. Kau serahkan saja kemejamu itu," Hyo Yeon memotong ucapan Ho Seok, membuat Ho Seok merasa sedikit kesal. Dirinya yang aneh atau wanita ini?, tanya Ho Seok di dalam hati.


"Maksudmu membukanya di tempat ini?" ucap Ho Seok terkejut. Pasalnya di sini tempat umum, lagi pula dia tidak membawa baju ganti. Apakah dia harus telanjang dada selama di perjalanan sampai rumahnya. Hahaha, itu sungguh lucu. Bisa-bisa orang-orang mengiranya gila.


"Menyusahkan sekali, kau ikut saja denganku," Ho Seok hanya bisa cengo mendengar ucapan Hyo Yeon. Jelas-jelas ia yang menjadi korban dan seharusnya dia yang mengatakan hal itu, bukan sebaliknya.


Mau tak mau Ho Seok mengikuti Hyo Yeon. Ia masuk ke sebuah gedung, di dalamnya masih terdapat tangga. Dan yang benar saja Ho Seok harus melangkah terus ke atas. Ia juga tinggal dikompleks seperti ini namun tempatnya tinggal tak sampai diujung-ujung, masih bisa kakinya untuk melangkah. Akhirnya, mereka sampai juga, syukurlah. Hyo Yeon membuka pintu rumahnya menggunakan kunci, tempat ini masih menggunakan cara manual.


"Masuk. Aku tinggal di sini sendirian jadi kau jangan macam-macam," ancam Hyo Yeon, matanya menatap mata Ho Seok tajam. Ia mempersilahkan Ho Seok masuk terlebih dahulu, baru dirinya. Setelah melepas sepatunya Ho Seok menggunakan sandal rumah yang sudah terdapat di sana diikuti Hyo Yeon. Ho Seok sedikit melangkah lebih dalam sembari melihat sekeliling tempat ini. Cukup rapi, pikir Ho Seok. "Cepat, lepas bajumu dan kenakan ini," Hyo Yeon melempar pakaian kepada Ho Seok yang langsung ia tangkap, "mungkin itu pas untukkmu."


Saat Ho Seok ingin membuka kemejanya, ia seketika berhenti, "Hahahaha..." Ho Seok tertawa. Seakan mengerti, Hyo Yeon memutar tubuhnya.


"Sudah selesai?" tanya Hyo Yeon sembari menghentakkan kakinya, bosan.


"I-iya," jawab Ho Seok, "ini," Ho Seok memberikan kemejanya yang penuh kopi kepada Hyo Yeon dan langsung diambilnya.


"Sekarang kau bisa pergi, dua hari lagi kau bisa datang ke sini untuk mengambil kemejamu ini dan mengembalikan bajuku," ucap Hyo Yeon, membuat Ho Seok sedikit terpaku. Baru saja ia sampai sudah diusir. "Tunggu apalagi, cepat," dengan terpaksa Ho Seok melangkah pergi. Hari ini benar-benar hari yang sial untuknya. Wajah Ho Seok tak seceria tadi, bibirnya tampak melengkung ke bawah.


"Hah, kenapa tangga ini begitu banyak? Apa salahku?"


.


.


.


TBC


.


.


.


Wah, chap berikutnya sudah selesai. Semoga kalian bisa enjoy ketika membacanya. Jangan lupa tinggalkan jejak ya, biar author semakin semangat meneruskan fic ini dan terus lanjut sampai akhir. Like & Comment sangat diperlukan untuk menunjang kelangsungan fic ini. Ummah... :* makasih.


PEMBERITAHUAN!

Setiap chap-nya ada yang namanya PAIRING VOTE. Jadi para readers diperkenankan memilih pairing yang kalian suka.


1. Tiap orang boleh memilik pairing maks 7. Boleh beda-beda tiap chapnya samapun tak apa-apa, terserah readers. Tapi tidak boleh Yaoi ataupun Yuri.


2. Jika readers berkenan menambahkan alasan, itu tambah bagus, karena author bisa saja terpengaruh dan menyukai pairing itu juga XD. Poin (+) nya, mungkin author bisa memperbanyak scene tentang mereka walau tidak akan mengubah jalan cerita.


3. Para readers juga diharuskan memiliki mental yang kuat karena jika pairing-nya tidak canon kalian akan baik-baik saja dan tidak mem-bully atau me-flame author. Ini kesepakatan dari awal ya, :D .


4. Semua keputusan ada di tangan kalian tetapi author yang tetap menentukan.


5. Voting bisa langsung dibuka dari chap 1 sampai chap -1 tamat.


6. Pairing yang bisa Anda pilih {JinTae}{JinSica}{JinSunny}{JinHyo}{JinFany}{JinYuri}{JinSoo}{JinYoona}{JinSeoh} {SugaTae}{SugaSica}{SugaSunny}{SugaHyo}{SugaFany}{SugaYuri}{SugaSoo}{SugaYoona}{SugaSeoh}{J-hopeTae}{J-hopeSica}{J-hopeSunny}{J-hopeHyo}{J-hopeFany}{J-hopeYuri}{J-hopeSoo}{J-hopeYoona}{J-hopeSeoh}{RapmonTae}{RapmonSica}{RapmonSunny}{RapmonHyo}{RapmonFany}{RapmonYuri}{RapmonSoo}{RapmonYoona}{RapmonSeoh}{MinTae}{MinSica}{MinSunny}{MinHyo}{MinFany}{MinYuri}{MinSoo}{MinYoona}{MinSeoh}{VTae}{VSica}{VSunny}{VHyo}{VFany}{VYuri}{VSoo}{VYoona}{VSeoh}{KookTae}{KookSica}{KookSunny}{KookHyo}{KookFany}{KookYuri}{KookSoo}{KookYoona}{KookSeoh}


7. Jadi tunggu apa lagi, langsung ke kolom komentar saja. Ditunggu.

THANKS FOR READING EVERYONE. LIKE & COMMENT! LIKE & COMMENT! THE MORE LIKES & COMMENT I GET THE MORE DETERMINED I FEEL TO UPDATE!


I Hope ARMY and SONE enjoy and like my fic.
 
Vye...




0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

RULES

1. No bashing or flame
2. If you read, then you must leave a review
3. Don’t be a plagiator
4. Don’t take out any post without permission or credit

BTemplates.com

Categories

Pages

About